Konon ada seseorang yang bertanya kepada ahli filsafat “Bagaimana agar saya dapat memperoleh pengetahuan yang benar ?”. Si ahli filsafat menjawab “Ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu”. Menurut filsuf ini ada 4 jenis manusia dilihat dari pengetahuannya :
Ada orang yang tahu di tahunya
Ada orang yang tahu di tidaktahunya
Ada orang yang tidak tahu di tahunya
Ada orang yang tidak tahu di tidaktahunya.
Jadi pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu, kepastian dimulai dari rasa-ragu-ragu, dan dari sanalah filsafat-induk pengetahuan mengakomodasi kedua-duanya. Literatur tentang filsafat sebagai induk segala ilmu bisa ditarik pada masa keemasan Yunani kuno, dimana kondisi masyarakat tidak banyak bergejolak dan kebutuhan dasar setiap orang terpenuhi dalam masyarakat seperti ini orang mulai bertanya-tanya mengenai hakikat dirinya. Ada filsuf yang mengatakan segala sesuatunya berasal dari air, dari udara dan sebagainya (Baca Dunia Sophie atau karya M.Hatta “Alam Pikiran Yunani” ).
Perlu diketahui bahwa pengertian ilmu sebagai bagian dari pengetahuan disini kita batasi sebagai “proses memperoleh pengetahuan, atau pengetahuan terorganisasi yang diperoleh lewat proses tersebut. Proses keilmuan adalah cara memperoleh pengetahuan secara sistematis tentang suatu sistem. Perolehan sistematis ini umumnya berupa metode ilmiah, dan sistem tersebut umumnya adalah alam semesta. Dalam pengertian ini, ilmu sering disebut sebagai sains.
Pengertian ini kita bedakan dengan pengetahuan secara umum, tentu saja orang-orang prasejarah di Sangiran juga sudah punya “ilmu” misalnya bagaimana mereka membuat alat-alat berburu dari batu dan alat bantu serbaguna lain atau bagaimana orang Mesir kuno mempelajari astronomi dan arsitektur, atau orang Sumeria yang mempelajari ilmu linguistic. Namun mereka semua ini tidak mempelajari pengetahuan tadi sebagai ilmu, mereka mempelajarinya dalam konteks yang lain. Pithecantropus Erectus menguasai musim berburu berkaitan dengan perut mereka, karena mereka lapar, mereka butuh makan lalu mereka mencari cara bagaimana bisa makan daging dan mereka tentu saja tidak menerbitkan buku “Cara membuat tombak dengan baik dan benar”. Orang Mesir kuno membangun Piramid bukan karena mereka nyentrik kemudian menjajal keahlian arsitektur mereka, tapi ini berkaitan dengan konteks religious bahwa Raja mereka atau Firaun yang mati adalah titisan Dewa Matahari (Ra atau Re) yang memerlukan sebuah “mesin” raksasa untuk kembali ke langit dan para arsitek kuno Mesir pun “terpaksa” belajar untuk mentransfer keyakinan tersebut dalam wujud yang nyata, jadilah bangunan gigantis berwujud pyramid. Sedang rumah mereka tetap saja beratap ilalang dan berdinding lumpur kering, mereka tidak pernah berpikir membuat apartemen atau pencakar langit-meski mungkin mereka bisa, karena memang tidak ada relevansinya dengan keyakinan mereka.
Ketika kebutuhan akan rasa lapar sudah terpenuhi, begitu pula dengan kebutuhan-kebutuhan dasar yang lain seperti rasa aman, dan yang lain-lain bila kita ikuti hierarki kebutuhan dari Maslow. Maka manusia pun akan mulai bertanya akan hakikat dirinya. Seseorang yang lapar tentu tidak akan bersusah payah untuk memahami teori kuantum, dia lebih suka untuk mencari tempat makan yang enak. Sejarah “Rasa ingin tahu” ini pun bisa kita tarik ke belakang ketika Ibrahim mencari Tuhan, atau dalam bahasa lainnya mencari asal-usul keberadaan dirinya. Bahwa ada sesuatu “kekuatan” lain di luar dirinya yang membuat alam dan segala isi kehidupannya berjalan. Tentu saja pada suatu titik seseorang akan bertanya “Kenapa aku ada disini?” seperti seorang anak yang selalu bertanya tentang hal-hal baru yang ada disekitarnya. Bahwa kemudian Ibrahim menolak api, matahari, bulan, dan kemudian menemukan sosok Tuhan dalam gambarannya itu soal lain, pada kenyataannya di sebagian besar sudut dunia yang lain orang berhenti pada api dan kemudian mereka sembah matahari, muncul Dewa Matahari atau dalam bentuk yang lebih kompleks muncul hierarki Dewa-Dewi, Batara Guru, Dewi Kwan Im, dan lain-lain. Mereka menemukan sosok yang mereka bayangkan melebihi kekuatan dirinya sebagai manusia. Ketika mereka menemukan “jawaban” itu, maka segala sesuatu yang ada disekitar mereka akan mereka sangkut pautkan dengan tuhan mereka masing-masing. Dalam pertanian di Jawa ada Dewi Sri atau Dewi kesuburan, artinya segala macam ilmu yang ada kaitannya dengan menggarap lahan kemudian berhenti berkembang ketika si bapak Tani ketemu Dewi Sri, karena banyak sedikitnya panen pasti ada hubungannya juga dengan banyak sedikitnya sesajen yang dipersembahkan pada Dewi Sri.
Untuk memahami setiap cabang ilmu seperti ilmu pendidikan, ilmu budaya, atau ilmu psikologi tentu kita harus mengetahui asal-usul ilmu tersebut dan dari sudut pandang apa saja kita akan melihatnya supaya kita mengetahui kerangka (frame) yang ingin kita telaah. Seperti apabila kita ingin tahu hal-ikhwal tentang kodok maka kita tanyakan dulu, “Apa saja ciri-ciri kodok?”, “Pada ekosistem apa saja kodok hidup?”, “Bagaimana kodok mencari makan?”, “Apa manfaat kodok bagi manusia?”, dan lain-lain. Dengan pertanyaan-pertanyaan ini kita berfilsafat. Filsafat yang memberikan pondasi bagi setiap ilmu, layaknya pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri, disinilah peran filsafat.