Terkadang dalam situasi tertentu kita merasa "jauh" atau "sepi" padahal ada banyak orang disekeliling kita. Apakah mereka yang ada disekeliling kita itu "nyata" ? tapi kenapa kadang-kadang orang "terlepas" dari kenyataan. Sebenarnya apa yang kita sebut "nyata" ini ?
Mari kita lihat cara kerja kamera. Lho kok kamera ? Sebagian orang menganggap nyata berarti bisa dilihat, atau terlihat oleh mata. Mata bisa melihat kalau ada cahaya, yang ditangkap oleh retina mata adalah pantulan cahaya dari objek yang ada dalam jangkauan penglihatan. Begitu pula kamera adalah kotak penangkap cahaya, di dalam kamera ada yang namanya film sebuah materi yang sangat peka dengan cahaya. Kita bicara bagaimana awal mula sebuah citra/objek bisa "ditangkap" oleh materi bernama film ini. Cahaya yang tertangkap dalam film memiliki intensitas yang berbeda-beda, dari perbedaan intensitas itulah citra/objek bisa terbentuk. Gambar bunga bisa berbentuk bunga karena cahaya yang memantul dari mahkota, kelopak, batang berbeda. Warna bisa diketahui karena perbedaan panjang gelombang cahaya yang memantul. Cara kerja ini persis dengan cara kerja mata kita, jadi tanpa ada cahaya misalnya malam-malam pas hujan deras mati lampu, praktis keadaan menjadi gelap total dan kita tidak bisa melihat apapun.
Cahaya adalah materi yang merambat, teori mengatakan kecepatan cahaya itu 300.000 km/detik. Dalam ilmu astronomi, pernah saya dengar ada bintang yang jauhnya dari bumi 10 tahun cahaya, artinya cahaya perlu waktu 10 tahun dari bintang itu menuju ke bumi sehingga pantulannya bisa kita lihat memakai teleskop. Kalau kita hitung pakai kilometer berarti 300.000 x 60 (detik) x 60 (menit) x 24 (jam) x 365 (hari) x 10 (tahun) = 94.608.000.000.000 km jaraknya dari bumi atau 94,6 trilyun km. Sehingga --kalau kita juga belajar teori pergeseran bintang-- bintang yang terlihat oleh para ahli astronomi dengan teleskop itu adalah bintang 10 tahun yang lalu ! Jadi kita melihat masa lalu, dan posisi bintang itu "sekarang" sudah bergeser sekian derajat.
Sekarang kalau dianalogikan di lingkungan sekitar kita, misalnya kita melihat teman kita yang duduk 1 meter di depan kita. kalau cahaya itu kecepatannya 300.000 km/detik berarti untuk mencapai jarak 1 km cahaya perlu waktu 1/300.000 detik, kalau 1 km itu 1000 meter jadi cahaya perlu waktu 1/300.000.000 detik untuk mencapai jarak 1 meter. Jadi seseorang yang ada 1 meter di depan kita itu yang kita lihat ada orang 1/300.000.000 detik sebelumnya, dan kita melihat masa lalu ! Sampai pada titik ini beberapa orang mulai menjadi skeptis, benarkah semua yang kita lihat itu nyata ?
Beberapa orang yang lain akan bilang kita masih bisa merabanya, jadi masih bisa dibilang "nyata", kemudian sebagian yang lain akan bilang kita masih bisa mendengarnya, menciumnya, merasakan aromanya. Tapi bagaimana kalau seandainya semua yang kita sebut indera itu mati total ? Manusia yang buta, tuli, tidak bisa mencium, dan lidahnya mati rasa namun dia bisa berjalan dan berbicara. Sejarah sudah membuktikan sebagian besar perjuangan manusia, perang, makan, bersosialisasi, mencipta, berkomunikasi, membentuk jejaring sosial, budaya, semua yang kita sebut dengan "hidup" adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan indera. Segala sesuatu yang diperlukan untuk bertahan hidup di bumi, padahal rata-rata hidup manusia hanya 75 tahun, paling banter 100 tahun. Sebuah masa yang sangat singkat bila dibandingkan dengan bumi sendiri, tempat manusia hidup. Namun sejarah juga mengatakan bahwa ada segelintir manusia yang mengetahui rahasia "kenyataan". Mereka bilang ada sesuatu yang "nyata" dalam diri manusia, yang sering diabaikan demi pemenuhan kebutuhan inderawi, mereka menyebutnya Jiwa/Soul/Psyche/Qalbu dan mereka menganggap Jiwa ini-lah yang mesti diperhatikan sebagai sesuatu yang "hidup" sebagai sesuatu yang "nyata" itu sendiri (ada filsuf Jerman yang menyebutnya "an sich" atau "yang sebenarnya"). Konsep ini bisa menjelaskan rasa "sepi" yang dialami oleh seseorang meski di tengah keramaian
Banyak orang yang memang menyadari bahwa Jiwa itu abadi, orang-orang yang beragama samawi (Yahudi, Kristen, Islam) menyebut-nyebut tentang kehidupan "Jiwa" di surga dan neraka sesudah jasad/badan mati. Orang yang beragama Budha menjelaskan adanya reinkarnasi, jiwa yang moksa pada agama hindu, bahkan orang Toraja yang memiliki keyakinan animisme/dinamisme meyakini alam lain sesudah mati sehingga jasad orang Toraja yang mati diberikan "rumah" di lereng-lereng bukit cadas berikut pakaian dan perhiasannya. Jadi kesadaran akan Jiwa ini merupakan sesuatu yang universal, dan Tuhan "memfasilitasi" kesadaran ini dengan wahyu yang dikirimkan-Nya pada manusia lewat agama. Sedangkan dinamika, dialektika Jiwa ini sampai saat ini pun masih menjadi perdebatan bagi yang berusaha menjelaskannya, bagi yang berusaha menafsirkannya. Allah mengatakan kedekatan diri-Nya dengan manusia bahwa "Tidak lebih jauh dari uret lehermu sendiri" dan ketika Al-Hallaj mengatakan "akulah Kebenaran" atau Syekh Siti Djenar bermanunggal dengan Gusti dan merekapun dibakar, disembelih. Ada pepatah yang mengatakan Allah tidak bisa dijelaskan dengan akal manusia, ada sebuah kisah tentang seseorang yang skeptis tentang Tuhan...
"Katakan kepada saya," kata seorang ateis, "apakah Allah itu sungguh-sungguh ada?"
Jawab Sang Guru, "Jika kamu menginginkan saya sungguh-sungguh jujur, saya tidak akan menjawab."
Para murid penasaran mengapa ia tidak menjawab.
"Karena pertanyaannya tidak dapat dijawab," kata Sang Guru.
"Jadi, Guru juga ateis?"
"Tentu saja tidak. Orang ateis membuat kesalahan karena menyangkal kenyataan yang tidak mungkin dijelaskan."
Setelah diam sejenak, ia menambahkan, "Dan orang teis membuat kesalahan karena mencoba menjelaskannya."
No comments:
Post a Comment
komentar disini bro!