Kata “guru” diserap dari bahasa sansekerta yang juga berarti “guru” yang arti harfiahnya adalah “berat”. Dalam agama Hindu guru adalah pemandu spiritual/kejiwaan bagi para muridnya, guru juga bisa berarti simbol bagi suatu tempat yang suci yang berisi ilmu (vidya). Bahkan dalam agama Budha murid memandang gurunya sebagai jelmaan dari Budha sendiri atau Bodhisattva yang memandu muridnya menuju jalan kebenaran. Sejarah nusantara mencatat institusi pendidikan formal tertua didirikan di Kerajaan Sriwijaya antara 427 – 1197 SM, sekolah ini merupakan bagian dari Universitas Nalanda yang berada di sebelah tenggara Kota Patna, India. Salah satu universitas tertua di dunia ini pernah mengakomodasi 10.000 murid dan 2.000 guru yang berasal dari berbagai bangsa termasuk dari Sriwijaya. Mereka yang menuntut ilmu disini belajar agama Budha dalam berbagai aliran terutama aliran Vajrayana, Mahayana, dan Theravada.
Setelah sekolah itu hancur sejalan dengan mundurnya Kerajaan Sriwijaya, tidak ada lagi institusi pendidikan formal yang terorganisasi seperti sebelumnya. Memang kemudian setelah agama Islam masuk ke Nusantara muncul institusi pendidikan seperti pesantren yang berdiri secara mandiri di banyak daerah namun tidak terorganisir dengan baik sehingga sangat tergantung pada figur pemimpinnya atau kiai-nya.Ketika itu secara umum pengertian dari kata “guru” berkembang sangatlah luas, bahkan alam dan pengalaman hidup pun bisa menjadi guru bagi kita. Namun secara spesifik yang dimaksud disini adalah guru sebagai pengajar, sebagai seseorang yang melakukan transfer ilmu pengetahuan kepada siswa-siswanya sehingga mereka yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, yang tadinya tidak paham menjadi paham mengenai berbagai fenomena yang terjadi di sekitar mereka tidak hanya sebatas mengenai pengetahuan agama saja.
Sampai masa penjajahan Belanda seseorang yang dipanggil “guru” adalah seseorang yang memiliki ilmu lebih tinggi dalam bidang tertentu yang kemudian mengajarkan ilmunya kepada orang lain misalnya seseorang yang mendalami agama Islam kemudian mengajarkan ilmu membaca kitab suci kepada orang lain disebut guru ngaji, atau seseorang yang pandai beladiri mendirikan padepokan pencak silat supaya orang lain bisa belajar silat disebut guru silat.
Pada tanggal 17 September 1901 Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Politika yang meliputi:
1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
2. Emigrasi atau pemerataan jumlah penduduk, mengajak penduduk untuk bertransmigrasi
3. Edukasi, memperluas bidang pengajaran dan pendidikan pribumi
Munculnya kecenderungan ini berawal dari pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa. Tokoh-tokohnya adalah C.Th Van Deventer (politikus), E.F.E Douwes Dekker, dan Pieter Brooshooft (wartawan koran De Locomotief). Pengaruh politik etis untuk memajukan pendidikan terutama dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan adalah Mr. JH Abendanon (1852-1925) yang istrinya berkorespondensi aktif dengan R.A Kartini dan menginspirasi Kartini untuk mengajar dan mendirikan sekolah kecilnya sendiri, surat-surat mereka diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Abendanon juga menteri kebudayaan, agama, dan kerajinan Belanda selama 5 tahun (1900-1905). Selama masa ini berdiri sekolah-sekolah baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa hampir di semua daerah.
Namun kesadaran akan perlunya pendidikan bagi rakyat pribumi sudah jauh diungkapkan jauh sebelum itu, seperti yang dikatakan oleh Pangeran Ario Hadiningrat mengenai ayahnya Pangeran Ario Tjondronegoro, Bupati Demak pada tahun 1850-1866. Ario Hadiningrat bercerita kepada anaknya Pangeran Achmad Djajadiningrat, yang kemudian menjadi Bupati Serang mengenai kesadaran kakeknya tentang pentingnya pendidikan (Toer, 2003) :
“ Dia dapat memahami keadaan dengan baik. Sudah sejak 1846, waktu belum ada pikiran buat memberikan pendidikan pada pribumi, ya bahkan pengajaran Eropa pun masih banyak celanya, ia telah ramalkan apa yang segera bakal terjadi. Ia ambil tindakan-tindakan untuk memberikan pendidikan pada putra-putranya, yang sama sekali tidak dipahami oleh rekan-rekannya, bahkan dicela pula oleh banyak orang”
Pangeran Ario Tjondronegoro merupakan bupati pertama yang memberikan pendidikan kepada putra-putranya dengan jalan mendatangkan seorang guru ke rumah bagi mereka. Waktu itu Bahasa Belanda merupakan satu-satunya bahasa ilmu pengetahuan, karena itu tinggi rendahnya pengetahuan seseorang dapat diukur dari tinggi rendahnya pengetahuannya tentang bahasa Belanda. Pada tahun 1902 di seluruh Jawa dan Madura hanya ada 4 orang Bupati yang pandai menulis dan berbicara Belanda ; P.A Achmad Djajadiningrat (Bupati Serang), R.M. Tumenggung Kusumo Utoyo (Bupati Ngawi), Pangeran Ario Hadiningrat (Bupati Demak, paman R.A Kartini), dan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (Bupati Jepara, ayah R.A Kartini). Sedang di Cirebon ada beberapa orang Bupati yang sedikit-sedikit saja mendapat didikan (Toer, 2003).
Sedangkan pemerintah Hindia Belanda mengakomodasi peraturan pendidikan dasar untuk masyarakat pada waktu Hindia Belanda pertama kali pada tahun 1848, dan disempurnakan pada tahun 1892 di mana pendidikan dasar harus ada pada setiap Karesidenan, Kabupaten, Kawedanaan, atau pusat-pusat kerajinan, perdagangan, atau tempat yang dianggap perlu. Peraturan ini terbatas untuk pendidikan warga Belanda saja dan segelintir warga pribumi terutama dari kelas sosial tertentu saja. Peraturan yang terakhir (1898) diterapkan pada tahun 1901 setelah adanya Politik Etis atau Politik Balas Budi dari Kerajaan Belanda, yang diucapkan pada pidato penobatan Ratu Belanda Wilhelmina pada 17 September 1901, yang intinya ada 3 hal penting: irigrasi, transmigrasi, dan pendidikan.
Setelah 1901 pendidikan relatif lebih merata dan setiap penduduk pribumi memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dasar. R.A Kartini mendirikan sekolahnya pada akhir 1903 di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang dan diteruskan oleh keluarga Van Deventer pada tahun 1912 dinamakan Sekolah Kartini. Pada tahun 1918 Muhammadiyah yang dipimpin oleh KH Ahmad Dahlan mendirikan sekolah formalnya Madrasah Muallimin Muhammadiyah sebagai sekolah kader di Yogyakarta, sedangkan Perguruan Taman Siswa lahir pada tanggal 3 Juli 1922 didirikan oleh Ki Hajar Dewantara.
Bagi warga elite Eropa waktu itu, seorang anak mendapatkan pendidikan dasar di ELS (Europeesche Lagere School) yang menggunakan bahasa pengantar Bahasa Belanda. Awalnya hanya terbuka bagi warga Belanda di Hindia Belanda, sejak tahun 1903 kesempatan belajar juga diberikan kepada orang-orang pribumi yang mampu dan warga Tionghoa. Setelah beberapa tahun, pemerintah Belanda beranggapan bahwa hal ini ternyata berdampak negatif pada tingkat pendidikan di sekolah-sekolah HIS (Holandsche Indische School), maka ELS kembali dikhususkan bagi warga Belanda saja. Sekolah khusus bagi warga pribumi kemudian dibuka pada tahun 1907 (yang pada tahun 1914 dinamakan HIS), sementara sekolah bagi warga Tionghoa, Hollandsch-Chineesche School (HCS) dibuka pada tahun 1908.
Selain sekolah-sekolah swasta pribumi pertama tersebut, pada jalur resmi pendidikan di Hindia Belanda seorang anak pribumi masuk HIS pada usia 6 th dan tidak ada Kelompok Bermain (Speel Groep) atau Taman Kanak-Kanak (Voorbels), sehingga langsung masuk HIS dan selama 7 tahun belajar untuk mendapatkan ijazah sekolah dasar. Bagi masyarakat keturunan Tionghoa biasanya memilih jalur HCS (Hollands Chinesche School) karena selain bahasa pengantar Belanda, juga diberikan bahasa Tionghoa. HIS ini kemudian yang diadaptasi pemerintah Republik Indonesia (RI) menjadi Sekolah Dasar (SD) yang saat ini dilalui dalam jangka waktu 6 tahun.
Selain HIS pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan Tweede Inlandsche School atau Sekolah Kelas Dua atau Sekolah Ongko Loro merupakan Sekolah Rakyat atau Sekolah Dasar dengan masa pendidikan selama Tiga Tahun dan tersebar di seluruh pelosok desa. Maksud dari pendidikan ini adalah dalam rangka sekedar memberantas buta huruf dan mampu berhitung. Bahasa pengantar adalah bahasa daerah dengan guru tamatan dari HIK (Holandsche Indische Kweekschool) . Bahasa Belanda merupakan mata pelajaran pengetahuan dan bukan sebagai mata pelajaran pokok sebagai bahasa pengantar. Namun setelah tamat sekolah ini murid masih dapat meneruskan pada Schakel School selama 5 tahun yang tamatannya nantinya akan sederajat dengan Hollandsche Indische School. Tokoh Indonesia seperti HAMKA, Soeharto, dan Adam Malik merupakan lulusan sekolah ini.
Guru-guru formal pribumi pertama adalah guru tamatan HIK yang kemudian mengajar di Sekolah Kelas Dua ini. Kweekschool adalah salah satu sistem pendidikan di zaman Hindia Belanda, terdiri atas HIK (Holandse Indische Kweekschool, atau sekolah guru bantu yang ada di semua Kabupaten) dan HKS (Hoogere Kweek School, atau sekolah guru atas yang ada di Jakarta, Medan, Bandung, dan Semarang, salah satu lulusan HKS Bandung adalah Ibu Soed. Europese Kweek School (EKS, sebangsa Seolah Guru Atas dengan dasar bahasa Belanda dengan maksud memberi ijazah untuk mengajar di sekolah Belanda, yang berbeda dengan HKS) yang hanya diperuntukan bagi orang Belanda atau pribumi ataupun orang Arab/Tionghoa yang mahir sekali berbahasa Belanda, dan hanya ada di Surabaya. Pada waktu itu misalnya satu kelas ada 28 orang, maka terdiri 20 orang Belanda, 6 orang Arab/Tionghoa, dan 2 orang pribumi. Selain itu juga dikenal HCK atau Hollandsche Chineesche Kweekschool khusus untuk yang keturunan Tionghoa, salah satu lulusan HCK adalah P.K. Ojong yang sekarang menjadi CEO Grup Kompas-Gramedia. Di Muntilan ada Katholieke Kweek School atau sebangsa seminari khusus untuk guru beragama Katholiek yang didirikan pada tahun 1911 dengan nama Kolese Xaverius Muntilan, lulusannya (yang pandai main musik) adalah antara lain Cornel Simanjuntak. Setelah K.H.A. Dahlan mengujungi Muntilan, maka beliau juga terinspirasi mendirikan bagi orang Islam, yaitu Muallimin di Yogyakarta pada tahun 1918.
Setelah seorang anak Eropa mendapatkan ijazah ELS atau seorang anak pribumi mendapatkan ijazah sekolah dasar dari HIS selama 7 tahun atau persamaannya (Sekolah Kelas Dua + Schakel School) selama 3 tahun + 5 tahun (8 tahun), seorang anak dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang sekolah menengah (MULO, HBS, atau Kweekschool). Pada masa itu seorang anak dari golongan eropa atau elite pribumi dapat meneruskan pendidikannya di HBS (Hogere Burger School). HBS adalah sekolah lanjutan tingkat menengah pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.HBS setara dengan MULO + AMS atau SMP + SMA, namun hanya 5 tahun. Pada waktu itu HBS hanya ada di kota Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta, dan Medan. Sukarno merupakan salah satu lulusan HBS Surabaya sebelum melanjutkan kuliah di THS (Technische Hooge School) atau sekarang ITB (Institut Teknologi Bandung).
Sedangkan bagi kalangan pribumi biasa bisa melanjutkan sekolahnya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Pada masa sekarang ini, MULO setara dengan SMP (Sekolah Menengah Pertama). Meer Uitgebreid Lager Onderwijs berarti "Pendidikan Dasar Lebih Luas". MULO menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Pada akhir tahun 30-an, sekolah-sekolah MULO sudah ada hampir di setiap kota kawedanaan (kota kabupaten). Jenjang pendidikan ini dilalui selama 3 tahun, tidak seperti HBS yang lulusannya bisa langsung melanjutkan pendidikan tinggi di jenjang kuliah, lulusan MULO harus melanjutkan terlebih dahulu di AMS (Algemeene Midelbare School) selama 3 tahun lagi, sekolah ini sekarang disebut SMA (Sekolah Menengah Atas)
Banyak orang tua murid menyekolahkan anaknya ke AMS, karena dengan harapan dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu misalnya ke THS di Bandung (Technische Hooge School - didirikan tahun 1920 - sekarang - Institut Teknologi Bandung - ITB), RHS di Jakarta (Rechts Hooge School - didirikan tahun 1924 - sekarang Fakultas Hukum UI Jakarta), atau GHS di Jakarta (Geneeskudige Hooge School - didirikan tahun 1924 - sekarang Fakultas Kedokteran UI Jakarta) sebelumnya sekolah ini bernama STOVIA (School Tot Opleiding van Indische Artsen) yang berdiri sejak 1853, ke Bogor di Landbouw Hooge School - didirikan tahun 1940 - sekarang Institut Pertanian Bogor - IPB. Melalui AMS berarti harus menyelesaikan MULO lebih dahulu yang tersebar di semua kabupaten, sedangkan kalau melalui HBS hanya ada di Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta, atau Medan.
AMS memiliki beberapa jurusan, Jalur A afdeling atau SMA Bagian-A pada tahun 1951 atau sekarang jurusan IPS, di mana akan ditekankan pada ilmu sastra dan budaya, jalur ini hanya untuk meneruskan ke RHS saja. Jalur B afdeling atau SMA Bagian-B pada tahun 1951 atau sekarang jurusan IPA, di mana akan ditekankan pada ilmu alam dan ilmu pasti, jalur ini dapat ke semua jurusan RHS, THS, GHS, ataupun LHS. Pada waktu itu, para guru AMS berpendidikan tinggi dari RHS, THS, GHS, ataupun LHS. Sehingga misalnya guru aljabar pada umumnya menyandang gelar Ir., guru sejarah menyandang gelar Mr., atau guru botani menyandang gelar dokter (Arts).
Selain melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah, lulusan HIS juga bisa melanjutkan pendidikannya ke jalur pendidikan khusus pamong praja seperti OSVIA (Opleiding School voor Indlandsch Ambtenaren) selama 5 tahun untuk langsung bekerja sebagai pamong praja, sekolah ini juga disebut “sekolah menak” karena murid-muridnya kebanyakan adalah anak para priyayi seperti bupati, patih, atau wedana. OSVIA didirikan pada tahun 1879 di Bandung. Pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan sekolah yang serupa yaitu MBS (Middlebare Besture School) di Malang. Sekarang sekolah ini berubah nama menjadi IPDN (Institut Pendidikan Dalam Negeri) yang ada di Jatinangor, Bandung, Jawa Barat dan IIP (Institut Ilmu Pemerintahan) yang ada di Jakarta.
Setelah sekolah itu hancur sejalan dengan mundurnya Kerajaan Sriwijaya, tidak ada lagi institusi pendidikan formal yang terorganisasi seperti sebelumnya. Memang kemudian setelah agama Islam masuk ke Nusantara muncul institusi pendidikan seperti pesantren yang berdiri secara mandiri di banyak daerah namun tidak terorganisir dengan baik sehingga sangat tergantung pada figur pemimpinnya atau kiai-nya.Ketika itu secara umum pengertian dari kata “guru” berkembang sangatlah luas, bahkan alam dan pengalaman hidup pun bisa menjadi guru bagi kita. Namun secara spesifik yang dimaksud disini adalah guru sebagai pengajar, sebagai seseorang yang melakukan transfer ilmu pengetahuan kepada siswa-siswanya sehingga mereka yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, yang tadinya tidak paham menjadi paham mengenai berbagai fenomena yang terjadi di sekitar mereka tidak hanya sebatas mengenai pengetahuan agama saja.
Sampai masa penjajahan Belanda seseorang yang dipanggil “guru” adalah seseorang yang memiliki ilmu lebih tinggi dalam bidang tertentu yang kemudian mengajarkan ilmunya kepada orang lain misalnya seseorang yang mendalami agama Islam kemudian mengajarkan ilmu membaca kitab suci kepada orang lain disebut guru ngaji, atau seseorang yang pandai beladiri mendirikan padepokan pencak silat supaya orang lain bisa belajar silat disebut guru silat.
Pada tanggal 17 September 1901 Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Politika yang meliputi:
1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
2. Emigrasi atau pemerataan jumlah penduduk, mengajak penduduk untuk bertransmigrasi
3. Edukasi, memperluas bidang pengajaran dan pendidikan pribumi
Munculnya kecenderungan ini berawal dari pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa. Tokoh-tokohnya adalah C.Th Van Deventer (politikus), E.F.E Douwes Dekker, dan Pieter Brooshooft (wartawan koran De Locomotief). Pengaruh politik etis untuk memajukan pendidikan terutama dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan adalah Mr. JH Abendanon (1852-1925) yang istrinya berkorespondensi aktif dengan R.A Kartini dan menginspirasi Kartini untuk mengajar dan mendirikan sekolah kecilnya sendiri, surat-surat mereka diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Abendanon juga menteri kebudayaan, agama, dan kerajinan Belanda selama 5 tahun (1900-1905). Selama masa ini berdiri sekolah-sekolah baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa hampir di semua daerah.
Namun kesadaran akan perlunya pendidikan bagi rakyat pribumi sudah jauh diungkapkan jauh sebelum itu, seperti yang dikatakan oleh Pangeran Ario Hadiningrat mengenai ayahnya Pangeran Ario Tjondronegoro, Bupati Demak pada tahun 1850-1866. Ario Hadiningrat bercerita kepada anaknya Pangeran Achmad Djajadiningrat, yang kemudian menjadi Bupati Serang mengenai kesadaran kakeknya tentang pentingnya pendidikan (Toer, 2003) :
“ Dia dapat memahami keadaan dengan baik. Sudah sejak 1846, waktu belum ada pikiran buat memberikan pendidikan pada pribumi, ya bahkan pengajaran Eropa pun masih banyak celanya, ia telah ramalkan apa yang segera bakal terjadi. Ia ambil tindakan-tindakan untuk memberikan pendidikan pada putra-putranya, yang sama sekali tidak dipahami oleh rekan-rekannya, bahkan dicela pula oleh banyak orang”
Pangeran Ario Tjondronegoro merupakan bupati pertama yang memberikan pendidikan kepada putra-putranya dengan jalan mendatangkan seorang guru ke rumah bagi mereka. Waktu itu Bahasa Belanda merupakan satu-satunya bahasa ilmu pengetahuan, karena itu tinggi rendahnya pengetahuan seseorang dapat diukur dari tinggi rendahnya pengetahuannya tentang bahasa Belanda. Pada tahun 1902 di seluruh Jawa dan Madura hanya ada 4 orang Bupati yang pandai menulis dan berbicara Belanda ; P.A Achmad Djajadiningrat (Bupati Serang), R.M. Tumenggung Kusumo Utoyo (Bupati Ngawi), Pangeran Ario Hadiningrat (Bupati Demak, paman R.A Kartini), dan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (Bupati Jepara, ayah R.A Kartini). Sedang di Cirebon ada beberapa orang Bupati yang sedikit-sedikit saja mendapat didikan (Toer, 2003).
Sedangkan pemerintah Hindia Belanda mengakomodasi peraturan pendidikan dasar untuk masyarakat pada waktu Hindia Belanda pertama kali pada tahun 1848, dan disempurnakan pada tahun 1892 di mana pendidikan dasar harus ada pada setiap Karesidenan, Kabupaten, Kawedanaan, atau pusat-pusat kerajinan, perdagangan, atau tempat yang dianggap perlu. Peraturan ini terbatas untuk pendidikan warga Belanda saja dan segelintir warga pribumi terutama dari kelas sosial tertentu saja. Peraturan yang terakhir (1898) diterapkan pada tahun 1901 setelah adanya Politik Etis atau Politik Balas Budi dari Kerajaan Belanda, yang diucapkan pada pidato penobatan Ratu Belanda Wilhelmina pada 17 September 1901, yang intinya ada 3 hal penting: irigrasi, transmigrasi, dan pendidikan.
Setelah 1901 pendidikan relatif lebih merata dan setiap penduduk pribumi memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dasar. R.A Kartini mendirikan sekolahnya pada akhir 1903 di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang dan diteruskan oleh keluarga Van Deventer pada tahun 1912 dinamakan Sekolah Kartini. Pada tahun 1918 Muhammadiyah yang dipimpin oleh KH Ahmad Dahlan mendirikan sekolah formalnya Madrasah Muallimin Muhammadiyah sebagai sekolah kader di Yogyakarta, sedangkan Perguruan Taman Siswa lahir pada tanggal 3 Juli 1922 didirikan oleh Ki Hajar Dewantara.
Bagi warga elite Eropa waktu itu, seorang anak mendapatkan pendidikan dasar di ELS (Europeesche Lagere School) yang menggunakan bahasa pengantar Bahasa Belanda. Awalnya hanya terbuka bagi warga Belanda di Hindia Belanda, sejak tahun 1903 kesempatan belajar juga diberikan kepada orang-orang pribumi yang mampu dan warga Tionghoa. Setelah beberapa tahun, pemerintah Belanda beranggapan bahwa hal ini ternyata berdampak negatif pada tingkat pendidikan di sekolah-sekolah HIS (Holandsche Indische School), maka ELS kembali dikhususkan bagi warga Belanda saja. Sekolah khusus bagi warga pribumi kemudian dibuka pada tahun 1907 (yang pada tahun 1914 dinamakan HIS), sementara sekolah bagi warga Tionghoa, Hollandsch-Chineesche School (HCS) dibuka pada tahun 1908.
Selain sekolah-sekolah swasta pribumi pertama tersebut, pada jalur resmi pendidikan di Hindia Belanda seorang anak pribumi masuk HIS pada usia 6 th dan tidak ada Kelompok Bermain (Speel Groep) atau Taman Kanak-Kanak (Voorbels), sehingga langsung masuk HIS dan selama 7 tahun belajar untuk mendapatkan ijazah sekolah dasar. Bagi masyarakat keturunan Tionghoa biasanya memilih jalur HCS (Hollands Chinesche School) karena selain bahasa pengantar Belanda, juga diberikan bahasa Tionghoa. HIS ini kemudian yang diadaptasi pemerintah Republik Indonesia (RI) menjadi Sekolah Dasar (SD) yang saat ini dilalui dalam jangka waktu 6 tahun.
Selain HIS pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan Tweede Inlandsche School atau Sekolah Kelas Dua atau Sekolah Ongko Loro merupakan Sekolah Rakyat atau Sekolah Dasar dengan masa pendidikan selama Tiga Tahun dan tersebar di seluruh pelosok desa. Maksud dari pendidikan ini adalah dalam rangka sekedar memberantas buta huruf dan mampu berhitung. Bahasa pengantar adalah bahasa daerah dengan guru tamatan dari HIK (Holandsche Indische Kweekschool) . Bahasa Belanda merupakan mata pelajaran pengetahuan dan bukan sebagai mata pelajaran pokok sebagai bahasa pengantar. Namun setelah tamat sekolah ini murid masih dapat meneruskan pada Schakel School selama 5 tahun yang tamatannya nantinya akan sederajat dengan Hollandsche Indische School. Tokoh Indonesia seperti HAMKA, Soeharto, dan Adam Malik merupakan lulusan sekolah ini.
Guru-guru formal pribumi pertama adalah guru tamatan HIK yang kemudian mengajar di Sekolah Kelas Dua ini. Kweekschool adalah salah satu sistem pendidikan di zaman Hindia Belanda, terdiri atas HIK (Holandse Indische Kweekschool, atau sekolah guru bantu yang ada di semua Kabupaten) dan HKS (Hoogere Kweek School, atau sekolah guru atas yang ada di Jakarta, Medan, Bandung, dan Semarang, salah satu lulusan HKS Bandung adalah Ibu Soed. Europese Kweek School (EKS, sebangsa Seolah Guru Atas dengan dasar bahasa Belanda dengan maksud memberi ijazah untuk mengajar di sekolah Belanda, yang berbeda dengan HKS) yang hanya diperuntukan bagi orang Belanda atau pribumi ataupun orang Arab/Tionghoa yang mahir sekali berbahasa Belanda, dan hanya ada di Surabaya. Pada waktu itu misalnya satu kelas ada 28 orang, maka terdiri 20 orang Belanda, 6 orang Arab/Tionghoa, dan 2 orang pribumi. Selain itu juga dikenal HCK atau Hollandsche Chineesche Kweekschool khusus untuk yang keturunan Tionghoa, salah satu lulusan HCK adalah P.K. Ojong yang sekarang menjadi CEO Grup Kompas-Gramedia. Di Muntilan ada Katholieke Kweek School atau sebangsa seminari khusus untuk guru beragama Katholiek yang didirikan pada tahun 1911 dengan nama Kolese Xaverius Muntilan, lulusannya (yang pandai main musik) adalah antara lain Cornel Simanjuntak. Setelah K.H.A. Dahlan mengujungi Muntilan, maka beliau juga terinspirasi mendirikan bagi orang Islam, yaitu Muallimin di Yogyakarta pada tahun 1918.
Setelah seorang anak Eropa mendapatkan ijazah ELS atau seorang anak pribumi mendapatkan ijazah sekolah dasar dari HIS selama 7 tahun atau persamaannya (Sekolah Kelas Dua + Schakel School) selama 3 tahun + 5 tahun (8 tahun), seorang anak dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang sekolah menengah (MULO, HBS, atau Kweekschool). Pada masa itu seorang anak dari golongan eropa atau elite pribumi dapat meneruskan pendidikannya di HBS (Hogere Burger School). HBS adalah sekolah lanjutan tingkat menengah pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.HBS setara dengan MULO + AMS atau SMP + SMA, namun hanya 5 tahun. Pada waktu itu HBS hanya ada di kota Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta, dan Medan. Sukarno merupakan salah satu lulusan HBS Surabaya sebelum melanjutkan kuliah di THS (Technische Hooge School) atau sekarang ITB (Institut Teknologi Bandung).
Sedangkan bagi kalangan pribumi biasa bisa melanjutkan sekolahnya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Pada masa sekarang ini, MULO setara dengan SMP (Sekolah Menengah Pertama). Meer Uitgebreid Lager Onderwijs berarti "Pendidikan Dasar Lebih Luas". MULO menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Pada akhir tahun 30-an, sekolah-sekolah MULO sudah ada hampir di setiap kota kawedanaan (kota kabupaten). Jenjang pendidikan ini dilalui selama 3 tahun, tidak seperti HBS yang lulusannya bisa langsung melanjutkan pendidikan tinggi di jenjang kuliah, lulusan MULO harus melanjutkan terlebih dahulu di AMS (Algemeene Midelbare School) selama 3 tahun lagi, sekolah ini sekarang disebut SMA (Sekolah Menengah Atas)
Banyak orang tua murid menyekolahkan anaknya ke AMS, karena dengan harapan dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu misalnya ke THS di Bandung (Technische Hooge School - didirikan tahun 1920 - sekarang - Institut Teknologi Bandung - ITB), RHS di Jakarta (Rechts Hooge School - didirikan tahun 1924 - sekarang Fakultas Hukum UI Jakarta), atau GHS di Jakarta (Geneeskudige Hooge School - didirikan tahun 1924 - sekarang Fakultas Kedokteran UI Jakarta) sebelumnya sekolah ini bernama STOVIA (School Tot Opleiding van Indische Artsen) yang berdiri sejak 1853, ke Bogor di Landbouw Hooge School - didirikan tahun 1940 - sekarang Institut Pertanian Bogor - IPB. Melalui AMS berarti harus menyelesaikan MULO lebih dahulu yang tersebar di semua kabupaten, sedangkan kalau melalui HBS hanya ada di Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta, atau Medan.
AMS memiliki beberapa jurusan, Jalur A afdeling atau SMA Bagian-A pada tahun 1951 atau sekarang jurusan IPS, di mana akan ditekankan pada ilmu sastra dan budaya, jalur ini hanya untuk meneruskan ke RHS saja. Jalur B afdeling atau SMA Bagian-B pada tahun 1951 atau sekarang jurusan IPA, di mana akan ditekankan pada ilmu alam dan ilmu pasti, jalur ini dapat ke semua jurusan RHS, THS, GHS, ataupun LHS. Pada waktu itu, para guru AMS berpendidikan tinggi dari RHS, THS, GHS, ataupun LHS. Sehingga misalnya guru aljabar pada umumnya menyandang gelar Ir., guru sejarah menyandang gelar Mr., atau guru botani menyandang gelar dokter (Arts).
Selain melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah, lulusan HIS juga bisa melanjutkan pendidikannya ke jalur pendidikan khusus pamong praja seperti OSVIA (Opleiding School voor Indlandsch Ambtenaren) selama 5 tahun untuk langsung bekerja sebagai pamong praja, sekolah ini juga disebut “sekolah menak” karena murid-muridnya kebanyakan adalah anak para priyayi seperti bupati, patih, atau wedana. OSVIA didirikan pada tahun 1879 di Bandung. Pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan sekolah yang serupa yaitu MBS (Middlebare Besture School) di Malang. Sekarang sekolah ini berubah nama menjadi IPDN (Institut Pendidikan Dalam Negeri) yang ada di Jatinangor, Bandung, Jawa Barat dan IIP (Institut Ilmu Pemerintahan) yang ada di Jakarta.