Seorang suami membunuh istrinya sendiri gara-gara sang istri mengubah status dalam facebook-nya yang tadinya “In Relationship” menjadi “Single”, memang suami-istri tersebut sudah lama tidak tinggal serumah namun ternyata si suami gemar mengintai istrinya lewat jejaring sosial dunia maya tersebut sehingga emosinya memuncak ketika dirinya merasa “ditiadakan” dengan mengaku masih single kepada kawan-kawannya di komunitas internet (www.tempointeraktif.com, 6 Februari 2009). Di sudut kota yang lain seorang anak kelas 5 SD tidak pulang hingga 3 hari sehingga orangtuanya melapor ke polisi karena khawatir anaknya diculik, ternyata kemudian si anak “ditemukan” masih berseragam sekolah sedang asyik bermain game online di sebuah di game center tidak jauh dari rumahnya hingga lupa pulang.
Kedua fenomena ekstrem tersebut benar-benar terjadi dan dalam intensitas yang lain banyak terjadi di sekitar kita, bahkan kita sendiri kerap mengalaminya. Dalam hal ini jejaring maya yang dimanifestasikan dalam world wide web (baca : www) menjadi realitas baru bagi sebagian orang. Setiap realitas dicirikan oleh satu tingkat kesadaran yang spesifik mulai dari intensitas yang tinggi dalam kehidupan sehari-hari, sampai tingkat intensitas yang lebih rendah dalam tidur atau mimpi. Realitas kehidupan (the paramount reality), adalah salah satu bentuk realitas dalam dunia kehidupan. Ia kita alami dalam kondisi terjaga sepenuhnya, bersifat self evident, tertata, dan objektif dan kita percayai sebagai sesuatu yang kenyataan tertinggi dan kita terima apa adanya sebagai sesuatu yang “di sini” dan “saat ini” dalam sudut pandang seorang rasionalis. Sedangkan realitas-realitas yang lain hadir dalam wilayah makna yang terbatas. Realitas yang lain tersebut ada sebagian merupakan konstruksi dari kesadaran kita. Seorang individu bisa mengalami realitas-realitas tersebut sepanjang hari, tapi kesadarannya akan tetap selalu kembali ke realitas kehidupan sehari-hari. Perjalanan antar-realitas ini seperti naik turunnya layar dalam panggung teater (Berger & Luckman, 1990).
Hal ini tidak menjadi masalah yang umum hingga munculnya bentuk-bentuk media komunikasi yang baru, yang tidak hanya bertindak sebagai “realitas kamera” untuk membedakan dengan realitas peristiwa non komunikasi. Dalam kerangka ini media sebagai blodok atau transitnya ilmu pengetahuan dan teknologi (mediametamorfose) kemudian meluruh dan menyatu dengan realitas kehidupan. Lima puluh tahun yang lalu radio masih menjadi alat komunikasi utama yang mengirimkan pesan dari komunikator dalam bentuk verbal kemudian ditransformasikan melalui gelombang (blodok) untuk kemudian diterima komunikan sebagai pesan verbal kembali, dalam kasus ini masih ada pembatas atau jarak antara pemberi pesan dengan penerima pesan yang berwujud gelombang-gelombang radio. Seseorang tidak akan “kecanduan” radio karena realitas radio cukup jauh dengan realitas kehidupan, realitas radio dimanifestasikan lewat gelombang yang diterima dalam bentuk audio melalui salah satu indera manusia berupa telinga. Sehingga seseorang dengan mudah akan mempersepsikan suara yang didengarkan sebagai sesuatu yang “tidak disini” dan “bukan saat ini” sebagaimana realitas kehidupan.
Tahun 1988, John Walker mengusulkan sebuah proyek “Pintu masuk ke dalam cyberspace” dengan moto “Reality is not enough anymore” . TV, komputer, dan internet telah mendorong orang mulai mempertimbangkan alternatif realitas lain di luar realitas kehidupan sehari-hari. Teknologi informasi multi-media telah memperkenalkan hiperrealitas, simulasi, dan virtual reality yang tidak bisa lagi dilihat hanya sebagai cermin dari realitas kehidupan, namun sebagai others (Budiman, 2002) atau realitas lain yang memiliki level kesadaran yang sama dengan realitas kehidupan sehari-hari. Teknologi informasi multi-media tersebut tidak hanya menyasar indra pendengaran, namun lebih dari itu merupakan teknologi yang memberikan stimulus pada sensasi pendengaran, penglihatan, dan sentuhan (vibrasi). Dengan begitu teknologi ini sudah hampir mendekati stimulus realitas kehidupan sehari-hari yang direspon oleh kesadaran melalui lima macam indra (pendengaran, penglihatan, sentuhan/tekanan, penciuman, dan pengecap).
Menurut David Hume (1711-1776), seorang filsuf dari Inggris mengatakan bahwa manusia memiliki dua jenis persepsi, yaitu kesan dan gagasan. Yang dimaksud dengan “kesan” disini adalah penginderaan langsung atas realitas lahiriah. Sedangkan “gagasan” adalah ingatan akan kesan-kesan semacam itu. Jika tangan kita menyentuh api, kita akan mendapatkan “kesan” panas dan segera hindari. Setelah itu kita dapat mengingat bahwa tangan kita terbakar. Kesan lebih kuat dan lebih hidup daripada ingatan reflektif tentang kesan tersebut (gagasan). Kerangka ini memperkuat bahwa realitas kehidupan sehari-hari atau realitas lahiriah merupakan bentuk gagasan-gagasan yang kompleks yang merupakan refleksi dari respon-respon indra yang “disimpan” dalam pikiran. Sehingga sebuah apel bisa jadi memiliki bentuk yang lain sebagai “apel itu sendiri” bukan sebagai apel yang dipersepsikan oleh indra manusia, karena warna apel yang hijau hanya karena panjang gelombang cahaya yang diterima oleh mata adalah panjang gelombang warna hijau, rasa apel yang manis karena lidah kita merasakannya sebagai rasa manis, kontur apel yang halus karena indra perasa kita merasakannya halus.
Sehingga menurut pandangan ini sesuatu yang kita anggap “nyata” atau “real” adalah sesuatu yang relatif dan bisa dimodifikasi. Wilayah ini yang kemudian digarap oleh teknologi informasi yang menawarkan dan menjual realitas alternatif disamping realitas kehidupan sehari-hari. Masyarakat Indonesia sudah semakin akrab dengan teknologi multi media yang hadir sebagai hiperrealitas meskipun lebih sering gagap dalam menghadapinya. Sehingga hiperrealitas menjadi pedang bermata dua yang bisa dimanfaatkan secara positif atau sebaliknya justru mencelakakan seperti si istri yang kemudian dibunuh atau si anak yang kecanduan game online, keduanya memiliki benang merah karena keduanya “tenggelam” dalam realitas alternatif berupa jejaring dunia maya yang nampaknya masyarakat Indonesia belum siap menghadapinya sehingga justru terkurung dalam realitas semu yang menguasai atau berada di atas realitas kehidupan sehari-hari. Berbagai realitas baru yang maya mengurung masyarakat dari setiap arah : ekonomi virtual, politik virtual, budaya virtual, hubungan sosial virtual, media virtual. Sebaliknya meski lebih banyak efek buruknya, misalnya masyarakat barat sudah mampu mengambil sisi positifnya sebagai wahana untuk mengkampanyekan lingkungan yang sehat dan menggalang dana sosial, tentu saja pemanfaatan ini harus mengkombinasikan realitas virtual dengan tetap berpijak pada realitas sehari-hari.
Kedua fenomena ekstrem tersebut benar-benar terjadi dan dalam intensitas yang lain banyak terjadi di sekitar kita, bahkan kita sendiri kerap mengalaminya. Dalam hal ini jejaring maya yang dimanifestasikan dalam world wide web (baca : www) menjadi realitas baru bagi sebagian orang. Setiap realitas dicirikan oleh satu tingkat kesadaran yang spesifik mulai dari intensitas yang tinggi dalam kehidupan sehari-hari, sampai tingkat intensitas yang lebih rendah dalam tidur atau mimpi. Realitas kehidupan (the paramount reality), adalah salah satu bentuk realitas dalam dunia kehidupan. Ia kita alami dalam kondisi terjaga sepenuhnya, bersifat self evident, tertata, dan objektif dan kita percayai sebagai sesuatu yang kenyataan tertinggi dan kita terima apa adanya sebagai sesuatu yang “di sini” dan “saat ini” dalam sudut pandang seorang rasionalis. Sedangkan realitas-realitas yang lain hadir dalam wilayah makna yang terbatas. Realitas yang lain tersebut ada sebagian merupakan konstruksi dari kesadaran kita. Seorang individu bisa mengalami realitas-realitas tersebut sepanjang hari, tapi kesadarannya akan tetap selalu kembali ke realitas kehidupan sehari-hari. Perjalanan antar-realitas ini seperti naik turunnya layar dalam panggung teater (Berger & Luckman, 1990).
Hal ini tidak menjadi masalah yang umum hingga munculnya bentuk-bentuk media komunikasi yang baru, yang tidak hanya bertindak sebagai “realitas kamera” untuk membedakan dengan realitas peristiwa non komunikasi. Dalam kerangka ini media sebagai blodok atau transitnya ilmu pengetahuan dan teknologi (mediametamorfose) kemudian meluruh dan menyatu dengan realitas kehidupan. Lima puluh tahun yang lalu radio masih menjadi alat komunikasi utama yang mengirimkan pesan dari komunikator dalam bentuk verbal kemudian ditransformasikan melalui gelombang (blodok) untuk kemudian diterima komunikan sebagai pesan verbal kembali, dalam kasus ini masih ada pembatas atau jarak antara pemberi pesan dengan penerima pesan yang berwujud gelombang-gelombang radio. Seseorang tidak akan “kecanduan” radio karena realitas radio cukup jauh dengan realitas kehidupan, realitas radio dimanifestasikan lewat gelombang yang diterima dalam bentuk audio melalui salah satu indera manusia berupa telinga. Sehingga seseorang dengan mudah akan mempersepsikan suara yang didengarkan sebagai sesuatu yang “tidak disini” dan “bukan saat ini” sebagaimana realitas kehidupan.
Tahun 1988, John Walker mengusulkan sebuah proyek “Pintu masuk ke dalam cyberspace” dengan moto “Reality is not enough anymore” . TV, komputer, dan internet telah mendorong orang mulai mempertimbangkan alternatif realitas lain di luar realitas kehidupan sehari-hari. Teknologi informasi multi-media telah memperkenalkan hiperrealitas, simulasi, dan virtual reality yang tidak bisa lagi dilihat hanya sebagai cermin dari realitas kehidupan, namun sebagai others (Budiman, 2002) atau realitas lain yang memiliki level kesadaran yang sama dengan realitas kehidupan sehari-hari. Teknologi informasi multi-media tersebut tidak hanya menyasar indra pendengaran, namun lebih dari itu merupakan teknologi yang memberikan stimulus pada sensasi pendengaran, penglihatan, dan sentuhan (vibrasi). Dengan begitu teknologi ini sudah hampir mendekati stimulus realitas kehidupan sehari-hari yang direspon oleh kesadaran melalui lima macam indra (pendengaran, penglihatan, sentuhan/tekanan, penciuman, dan pengecap).
Menurut David Hume (1711-1776), seorang filsuf dari Inggris mengatakan bahwa manusia memiliki dua jenis persepsi, yaitu kesan dan gagasan. Yang dimaksud dengan “kesan” disini adalah penginderaan langsung atas realitas lahiriah. Sedangkan “gagasan” adalah ingatan akan kesan-kesan semacam itu. Jika tangan kita menyentuh api, kita akan mendapatkan “kesan” panas dan segera hindari. Setelah itu kita dapat mengingat bahwa tangan kita terbakar. Kesan lebih kuat dan lebih hidup daripada ingatan reflektif tentang kesan tersebut (gagasan). Kerangka ini memperkuat bahwa realitas kehidupan sehari-hari atau realitas lahiriah merupakan bentuk gagasan-gagasan yang kompleks yang merupakan refleksi dari respon-respon indra yang “disimpan” dalam pikiran. Sehingga sebuah apel bisa jadi memiliki bentuk yang lain sebagai “apel itu sendiri” bukan sebagai apel yang dipersepsikan oleh indra manusia, karena warna apel yang hijau hanya karena panjang gelombang cahaya yang diterima oleh mata adalah panjang gelombang warna hijau, rasa apel yang manis karena lidah kita merasakannya sebagai rasa manis, kontur apel yang halus karena indra perasa kita merasakannya halus.
Sehingga menurut pandangan ini sesuatu yang kita anggap “nyata” atau “real” adalah sesuatu yang relatif dan bisa dimodifikasi. Wilayah ini yang kemudian digarap oleh teknologi informasi yang menawarkan dan menjual realitas alternatif disamping realitas kehidupan sehari-hari. Masyarakat Indonesia sudah semakin akrab dengan teknologi multi media yang hadir sebagai hiperrealitas meskipun lebih sering gagap dalam menghadapinya. Sehingga hiperrealitas menjadi pedang bermata dua yang bisa dimanfaatkan secara positif atau sebaliknya justru mencelakakan seperti si istri yang kemudian dibunuh atau si anak yang kecanduan game online, keduanya memiliki benang merah karena keduanya “tenggelam” dalam realitas alternatif berupa jejaring dunia maya yang nampaknya masyarakat Indonesia belum siap menghadapinya sehingga justru terkurung dalam realitas semu yang menguasai atau berada di atas realitas kehidupan sehari-hari. Berbagai realitas baru yang maya mengurung masyarakat dari setiap arah : ekonomi virtual, politik virtual, budaya virtual, hubungan sosial virtual, media virtual. Sebaliknya meski lebih banyak efek buruknya, misalnya masyarakat barat sudah mampu mengambil sisi positifnya sebagai wahana untuk mengkampanyekan lingkungan yang sehat dan menggalang dana sosial, tentu saja pemanfaatan ini harus mengkombinasikan realitas virtual dengan tetap berpijak pada realitas sehari-hari.