" Hari ini Anda adalah orang yang sama dengan Anda di lima tahun mendatang, kecuali dua hal : orang-orang di sekeliling Anda dan buku-buku yang Anda baca..."

Wednesday, December 31, 2008

Asli Jogja

Goenawan Muhammad pernah bertanya pada seorang seniman, mereka sedang bersantai di
sebuah kafe di Manhattan, yang terjemahan bebasnya "Mbak aslinya mana?" dan dijawab
"Saya bukan dari mana-mana, saya warga dunia". Mungkin GM sebenarnya ingin tahu si Mbak
ini lahirnya dimana, di negara mana, di kota mana. Namun pengertian asal tempat lahir
ini kemudian menjelma menjadi identitas dan stereotipe.


Seperti ketika kita menanyakan, misalnya "Ndi aslimu ngendi je?" kemudian dijawab "Seko
Banyuwangi", kemudian si penanya yang orang Jawa itu mengasosiasikannya dengan orang
Blambangan atau orang Osing, dan dia membatin "Hmm Indi ini pasti punya kaitan dengan
orang-orang yang sukanya menculik perempuan untuk dinikahi.." Seperti halnya keyakinan
sebagian orang tua Jawa yang menganggap perempuan Sunda dengan stereotipe tertentu
sehingga sebisa mungkin anaknya ga usah menikah orang sunda.


Bagi para perantau seperti saya yang bekerja di Jakarta ada istilah Pulkam alias pulang
kampung. Kata pulang menurut KBBI berarti "pergi ke rumah atau ke tempat asalnya".
Kawan saya di kantor sering berseloroh " saya nggak pulang nih, orang saya betawi
aslee..". Jadi arti pulang disini sebenarnya tereduksi, sehingga pulang hanya milik
orang non-Jakarta atau lebih khususnya non-betawi yang kembali ke kota asalnya.
Padahal ketika saya mau balik lagi ke Jakarta saya bilang sama Mbah saya "Mbah kulo
badhe wangsul --pulang-- teng Jakarta, nyuwun dongane nggih.." demikian kira-kira,
sehingga pengertian pulang disini bertabrakan dengan pengertian pulang sebelumnya. Jika
pulang yang pertama berarti "pergi ke tempat asal" dan secara tidak langsung menjadi
identitas bahwa saya orang Jogja soalnya saya pulang ke Jogja. Sedangkan pengertian
pulang yang kedua adalah "kembali" yang tidak ada urusannya dengan pengertian
identitas.


Seringkali saya sendiri memberikan "pagar" untuk memudahkan saya mengenal orang satu dengan yang lain, oh si Horas dari Medan, oh si Kalpika dari Bali, dan seterusnya. Tujuannya jelas positif, supaya saya bisa dengan cepat menyesuaikan diri bila mengobrol, misalnya dengan si Horas saya kecil kemungkinan akan bertanya "Bagaimana pantai Kuta sekarang, rame ya?" pertanyaan itu untuk si Kalpika.

Namun "pagar" ini lebih sering digunakan untuk menyatakan wilayah dan menghakimi daripada sebagai alat bantu untuk saling mengenal. Orang Batak Sanggau Ledo pasti langsung curiga jika berpapasan dengan orang Madura, begitu pula sebaliknya. Anggota FPI pasti akan melihat dan memperlakukan orang Ahmadiyah berbeda dengan orang Muhammadiyah.Lebih dari itu pagar-pagar itu kini semakin menyempit, bersilangan, semakin tinggi dan meruncing. Seperti tembok yang dibangun Israel untuk membedakan wilayahnya dengan Palestina.

Sebuah kisah mengatakan bahwa dahulu kala Tuhan menjatuhkan sebuah cermin dari langit dan pecahannya terserak di seluruh muka bumi. Setiap orang di belahan bumi yang berbeda menemukan cermin itu dan tergetar oleh keajaibannya, mereka mulai mengenal penciptanya dari pantulan cermin tersebut dan Tuhan memerintahkan para penemu cermin untuk menyatukan kembali pecahan-pecahan tersebut dengan mengenal orang dari belahan bumi yang lain, pekerjaan itu tidak pernah selesai. Para penemu cermin mewariskan kisah dan tugas berat ini pada anak keturunannya sehingga kisah cermin tersebut menjadi sejarah dan membentuk bangsa-bangsa. Namun bukannya disatukan, pecahan cermin ajaib itu dipecah-pecah karena semua orang ingin memiliki, mereka memperebutkannya, bahkan menggunakannya sebagai senjata untuk melukai bangsa yang lain. Setiap pemilik cermin merasa cerminnya yang paling asli dan merasa Tuhan memerintahkan untuk merebut cermin dari bangsa lain.

Cermin asli, "aslinya darimana?", wilayah asli, betawi aslee..Sebenarnya apa yang membuat seseorang lebih asli daripada yang lain ?

Monday, December 22, 2008

Saturday, December 13, 2008