" Hari ini Anda adalah orang yang sama dengan Anda di lima tahun mendatang, kecuali dua hal : orang-orang di sekeliling Anda dan buku-buku yang Anda baca..."

Saturday, February 28, 2009

Sejarah Pendidikan di Nusantara

Kata “guru” diserap dari bahasa sansekerta yang juga berarti “guru” yang arti harfiahnya adalah “berat”. Dalam agama Hindu guru adalah pemandu spiritual/kejiwaan bagi para muridnya, guru juga bisa berarti simbol bagi suatu tempat yang suci yang berisi ilmu (vidya). Bahkan dalam agama Budha murid memandang gurunya sebagai jelmaan dari Budha sendiri atau Bodhisattva yang memandu muridnya menuju jalan kebenaran. Sejarah nusantara mencatat institusi pendidikan formal tertua didirikan di Kerajaan Sriwijaya antara 427 – 1197 SM, sekolah ini merupakan bagian dari Universitas Nalanda yang berada di sebelah tenggara Kota Patna, India. Salah satu universitas tertua di dunia ini pernah mengakomodasi 10.000 murid dan 2.000 guru yang berasal dari berbagai bangsa termasuk dari Sriwijaya. Mereka yang menuntut ilmu disini belajar agama Budha dalam berbagai aliran terutama aliran Vajrayana, Mahayana, dan Theravada.

Setelah sekolah itu hancur sejalan dengan mundurnya Kerajaan Sriwijaya, tidak ada lagi institusi pendidikan formal yang terorganisasi seperti sebelumnya. Memang kemudian setelah agama Islam masuk ke Nusantara muncul institusi pendidikan seperti pesantren yang berdiri secara mandiri di banyak daerah namun tidak terorganisir dengan baik sehingga sangat tergantung pada figur pemimpinnya atau kiai-nya.Ketika itu secara umum pengertian dari kata “guru” berkembang sangatlah luas, bahkan alam dan pengalaman hidup pun bisa menjadi guru bagi kita. Namun secara spesifik yang dimaksud disini adalah guru sebagai pengajar, sebagai seseorang yang melakukan transfer ilmu pengetahuan kepada siswa-siswanya sehingga mereka yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, yang tadinya tidak paham menjadi paham mengenai berbagai fenomena yang terjadi di sekitar mereka tidak hanya sebatas mengenai pengetahuan agama saja.


Sampai masa penjajahan Belanda seseorang yang dipanggil “guru” adalah seseorang yang memiliki ilmu lebih tinggi dalam bidang tertentu yang kemudian mengajarkan ilmunya kepada orang lain misalnya seseorang yang mendalami agama Islam kemudian mengajarkan ilmu membaca kitab suci kepada orang lain disebut guru ngaji, atau seseorang yang pandai beladiri mendirikan padepokan pencak silat supaya orang lain bisa belajar silat disebut guru silat.


Pada tanggal 17 September 1901 Ratu
Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Politika yang meliputi:


1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
2. Emigrasi atau pemerataan jumlah penduduk, mengajak penduduk untuk bertransmigrasi
3. Edukasi, memperluas bidang pengajaran dan pendidikan pribumi


Munculnya kecenderungan ini berawal dari pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan
pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa. Tokoh-tokohnya adalah C.Th Van Deventer (politikus), E.F.E Douwes Dekker, dan Pieter Brooshooft (wartawan koran De Locomotief). Pengaruh politik etis untuk memajukan pendidikan terutama dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan adalah Mr. JH Abendanon (1852-1925) yang istrinya berkorespondensi aktif dengan R.A Kartini dan menginspirasi Kartini untuk mengajar dan mendirikan sekolah kecilnya sendiri, surat-surat mereka diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Abendanon juga menteri kebudayaan, agama, dan kerajinan Belanda selama 5 tahun (1900-1905). Selama masa ini berdiri sekolah-sekolah baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa hampir di semua daerah.


Namun kesadaran akan perlunya pendidikan bagi rakyat pribumi sudah jauh diungkapkan jauh sebelum itu, seperti yang dikatakan oleh Pangeran Ario Hadiningrat mengenai ayahnya Pangeran Ario Tjondronegoro, Bupati Demak pada tahun 1850-1866. Ario Hadiningrat bercerita kepada anaknya Pangeran Achmad Djajadiningrat, yang kemudian menjadi Bupati Serang mengenai kesadaran kakeknya tentang pentingnya pendidikan (Toer, 2003) :

“ Dia dapat memahami keadaan dengan baik. Sudah sejak 1846, waktu belum ada pikiran buat memberikan pendidikan pada pribumi, ya bahkan pengajaran Eropa pun masih banyak celanya, ia telah ramalkan apa yang segera bakal terjadi. Ia ambil tindakan-tindakan untuk memberikan pendidikan pada putra-putranya, yang sama sekali tidak dipahami oleh rekan-rekannya, bahkan dicela pula oleh banyak orang”

Pangeran Ario Tjondronegoro merupakan bupati pertama yang memberikan pendidikan kepada putra-putranya dengan jalan mendatangkan seorang guru ke rumah bagi mereka. Waktu itu Bahasa Belanda merupakan satu-satunya bahasa ilmu pengetahuan, karena itu tinggi rendahnya pengetahuan seseorang dapat diukur dari tinggi rendahnya pengetahuannya tentang bahasa Belanda. Pada tahun 1902 di seluruh Jawa dan Madura hanya ada 4 orang Bupati yang pandai menulis dan berbicara Belanda ; P.A Achmad Djajadiningrat (Bupati Serang), R.M. Tumenggung Kusumo Utoyo (Bupati Ngawi), Pangeran Ario Hadiningrat (Bupati Demak, paman R.A Kartini), dan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (Bupati Jepara, ayah R.A Kartini). Sedang di Cirebon ada beberapa orang Bupati yang sedikit-sedikit saja mendapat didikan (Toer, 2003).


Sedangkan pemerintah Hindia Belanda mengakomodasi peraturan pendidikan dasar untuk masyarakat pada waktu Hindia Belanda pertama kali pada tahun
1848, dan disempurnakan pada tahun 1892 di mana pendidikan dasar harus ada pada setiap Karesidenan, Kabupaten, Kawedanaan, atau pusat-pusat kerajinan, perdagangan, atau tempat yang dianggap perlu. Peraturan ini terbatas untuk pendidikan warga Belanda saja dan segelintir warga pribumi terutama dari kelas sosial tertentu saja. Peraturan yang terakhir (1898) diterapkan pada tahun 1901 setelah adanya Politik Etis atau Politik Balas Budi dari Kerajaan Belanda, yang diucapkan pada pidato penobatan Ratu Belanda Wilhelmina pada 17 September 1901, yang intinya ada 3 hal penting: irigrasi, transmigrasi, dan pendidikan.


Setelah 1901 pendidikan relatif lebih merata dan setiap penduduk pribumi memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dasar. R.A Kartini mendirikan sekolahnya pada akhir 1903 di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang dan diteruskan oleh keluarga Van Deventer pada tahun 1912 dinamakan Sekolah Kartini. Pada tahun 1918 Muhammadiyah yang dipimpin oleh KH Ahmad Dahlan mendirikan sekolah formalnya Madrasah Muallimin Muhammadiyah sebagai sekolah kader di Yogyakarta, sedangkan Perguruan Taman Siswa lahir pada tanggal 3 Juli 1922 didirikan oleh Ki Hajar Dewantara.


Bagi warga elite Eropa waktu itu, seorang anak mendapatkan pendidikan dasar di ELS (Europeesche Lagere School) yang menggunakan bahasa pengantar Bahasa Belanda. Awalnya hanya terbuka bagi warga Belanda di Hindia Belanda, sejak tahun
1903 kesempatan belajar juga diberikan kepada orang-orang pribumi yang mampu dan warga Tionghoa. Setelah beberapa tahun, pemerintah Belanda beranggapan bahwa hal ini ternyata berdampak negatif pada tingkat pendidikan di sekolah-sekolah HIS (Holandsche Indische School), maka ELS kembali dikhususkan bagi warga Belanda saja. Sekolah khusus bagi warga pribumi kemudian dibuka pada tahun 1907 (yang pada tahun 1914 dinamakan HIS), sementara sekolah bagi warga Tionghoa, Hollandsch-Chineesche School (HCS) dibuka pada tahun 1908.


Selain sekolah-sekolah swasta pribumi pertama tersebut, pada jalur resmi pendidikan di Hindia Belanda seorang anak pribumi masuk HIS pada usia 6 th dan tidak ada Kelompok Bermain (Speel Groep) atau Taman Kanak-Kanak (Voorbels), sehingga langsung masuk HIS dan selama 7 tahun belajar untuk mendapatkan ijazah sekolah dasar. Bagi masyarakat keturunan Tionghoa biasanya memilih jalur HCS (Hollands Chinesche School) karena selain bahasa pengantar Belanda, juga diberikan bahasa Tionghoa. HIS ini kemudian yang diadaptasi pemerintah Republik Indonesia (RI) menjadi Sekolah Dasar (SD) yang saat ini dilalui dalam jangka waktu 6 tahun.


Selain HIS pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan Tweede Inlandsche School atau Sekolah Kelas Dua atau Sekolah Ongko Loro merupakan Sekolah Rakyat atau Sekolah Dasar dengan masa pendidikan selama Tiga Tahun dan tersebar di seluruh pelosok desa. Maksud dari pendidikan ini adalah dalam rangka sekedar memberantas buta huruf dan mampu berhitung. Bahasa pengantar adalah bahasa daerah dengan guru tamatan dari
HIK (Holandsche Indische Kweekschool) . Bahasa Belanda merupakan mata pelajaran pengetahuan dan bukan sebagai mata pelajaran pokok sebagai bahasa pengantar. Namun setelah tamat sekolah ini murid masih dapat meneruskan pada Schakel School selama 5 tahun yang tamatannya nantinya akan sederajat dengan Hollandsche Indische School. Tokoh Indonesia seperti HAMKA, Soeharto, dan Adam Malik merupakan lulusan sekolah ini.


Guru-guru formal pribumi pertama adalah guru tamatan HIK yang kemudian mengajar di Sekolah Kelas Dua ini. Kweekschool adalah salah satu sistem pendidikan di zaman Hindia Belanda, terdiri atas HIK (Holandse Indische Kweekschool, atau sekolah guru bantu yang ada di semua Kabupaten) dan HKS (Hoogere Kweek School, atau sekolah guru atas yang ada di
Jakarta, Medan, Bandung, dan Semarang, salah satu lulusan HKS Bandung adalah Ibu Soed. Europese Kweek School (EKS, sebangsa Seolah Guru Atas dengan dasar bahasa Belanda dengan maksud memberi ijazah untuk mengajar di sekolah Belanda, yang berbeda dengan HKS) yang hanya diperuntukan bagi orang Belanda atau pribumi ataupun orang Arab/Tionghoa yang mahir sekali berbahasa Belanda, dan hanya ada di Surabaya. Pada waktu itu misalnya satu kelas ada 28 orang, maka terdiri 20 orang Belanda, 6 orang Arab/Tionghoa, dan 2 orang pribumi. Selain itu juga dikenal HCK atau Hollandsche Chineesche Kweekschool khusus untuk yang keturunan Tionghoa, salah satu lulusan HCK adalah P.K. Ojong yang sekarang menjadi CEO Grup Kompas-Gramedia. Di Muntilan ada Katholieke Kweek School atau sebangsa seminari khusus untuk guru beragama Katholiek yang didirikan pada tahun 1911 dengan nama Kolese Xaverius Muntilan, lulusannya (yang pandai main musik) adalah antara lain Cornel Simanjuntak. Setelah K.H.A. Dahlan mengujungi Muntilan, maka beliau juga terinspirasi mendirikan bagi orang Islam, yaitu Muallimin di Yogyakarta pada tahun 1918.


Setelah seorang anak Eropa mendapatkan ijazah ELS atau seorang anak pribumi mendapatkan ijazah sekolah dasar dari HIS selama 7 tahun atau persamaannya (Sekolah Kelas Dua + Schakel School) selama 3 tahun + 5 tahun (8 tahun), seorang anak dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang sekolah menengah (MULO, HBS, atau Kweekschool). Pada masa itu seorang anak dari golongan eropa atau elite pribumi dapat meneruskan pendidikannya di HBS (Hogere Burger School). HBS adalah sekolah lanjutan tingkat menengah pada zaman
Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.HBS setara dengan MULO + AMS atau SMP + SMA, namun hanya 5 tahun. Pada waktu itu HBS hanya ada di kota Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta, dan Medan. Sukarno merupakan salah satu lulusan HBS Surabaya sebelum melanjutkan kuliah di THS (Technische Hooge School) atau sekarang ITB (Institut Teknologi Bandung).
Sedangkan bagi kalangan pribumi biasa bisa melanjutkan sekolahnya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Pada masa sekarang ini, MULO setara dengan SMP (Sekolah Menengah Pertama). Meer Uitgebreid Lager Onderwijs berarti "Pendidikan Dasar Lebih Luas". MULO menggunakan
Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Pada akhir tahun 30-an, sekolah-sekolah MULO sudah ada hampir di setiap kota kawedanaan (kota kabupaten). Jenjang pendidikan ini dilalui selama 3 tahun, tidak seperti HBS yang lulusannya bisa langsung melanjutkan pendidikan tinggi di jenjang kuliah, lulusan MULO harus melanjutkan terlebih dahulu di AMS (Algemeene Midelbare School) selama 3 tahun lagi, sekolah ini sekarang disebut SMA (Sekolah Menengah Atas)


Banyak orang tua murid menyekolahkan anaknya ke AMS, karena dengan harapan dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu misalnya ke THS di Bandung (Technische Hooge School - didirikan tahun 1920 - sekarang - Institut Teknologi Bandung - ITB), RHS di Jakarta (Rechts Hooge School - didirikan tahun 1924 - sekarang Fakultas Hukum UI Jakarta), atau GHS di Jakarta (Geneeskudige Hooge School - didirikan tahun 1924 - sekarang Fakultas Kedokteran UI Jakarta) sebelumnya sekolah ini bernama STOVIA (School Tot Opleiding van Indische Artsen) yang berdiri sejak 1853, ke Bogor di Landbouw Hooge School - didirikan tahun 1940 - sekarang Institut Pertanian Bogor - IPB. Melalui AMS berarti harus menyelesaikan MULO lebih dahulu yang tersebar di semua kabupaten, sedangkan kalau melalui HBS hanya ada di Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta, atau Medan.


AMS memiliki beberapa jurusan, Jalur A afdeling atau SMA Bagian-A pada tahun 1951 atau sekarang jurusan IPS, di mana akan ditekankan pada ilmu sastra dan budaya, jalur ini hanya untuk meneruskan ke RHS saja. Jalur B afdeling atau SMA Bagian-B pada tahun 1951 atau sekarang jurusan IPA, di mana akan ditekankan pada ilmu alam dan ilmu pasti, jalur ini dapat ke semua jurusan RHS, THS, GHS, ataupun LHS. Pada waktu itu, para guru AMS berpendidikan tinggi dari RHS, THS, GHS, ataupun LHS. Sehingga misalnya guru aljabar pada umumnya menyandang gelar Ir., guru sejarah menyandang gelar Mr., atau guru botani menyandang gelar dokter (Arts).


Selain melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah, lulusan HIS juga bisa melanjutkan pendidikannya ke jalur pendidikan khusus pamong praja seperti OSVIA (Opleiding School voor Indlandsch Ambtenaren) selama 5 tahun untuk langsung bekerja sebagai pamong praja, sekolah ini juga disebut “sekolah menak” karena murid-muridnya kebanyakan adalah anak para priyayi seperti bupati, patih, atau wedana. OSVIA didirikan pada tahun 1879 di Bandung. Pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan sekolah yang serupa yaitu MBS (Middlebare Besture School) di Malang. Sekarang sekolah ini berubah nama menjadi IPDN (Institut Pendidikan Dalam Negeri) yang ada di Jatinangor, Bandung, Jawa Barat dan IIP (Institut Ilmu Pemerintahan) yang ada di Jakarta.

Friday, February 13, 2009

Realitas dan Hiperrealitas



Seorang suami membunuh istrinya sendiri gara-gara sang istri mengubah status dalam facebook-nya yang tadinya “In Relationship” menjadi “Single”, memang suami-istri tersebut sudah lama tidak tinggal serumah namun ternyata si suami gemar mengintai istrinya lewat jejaring sosial dunia maya tersebut sehingga emosinya memuncak ketika dirinya merasa “ditiadakan” dengan mengaku masih single kepada kawan-kawannya di komunitas internet (www.tempointeraktif.com, 6 Februari 2009). Di sudut kota yang lain seorang anak kelas 5 SD tidak pulang hingga 3 hari sehingga orangtuanya melapor ke polisi karena khawatir anaknya diculik, ternyata kemudian si anak “ditemukan” masih berseragam sekolah sedang asyik bermain game online di sebuah di game center tidak jauh dari rumahnya hingga lupa pulang.

Kedua fenomena ekstrem tersebut benar-benar terjadi dan dalam intensitas yang lain banyak terjadi di sekitar kita, bahkan kita sendiri kerap mengalaminya. Dalam hal ini jejaring maya yang dimanifestasikan dalam world wide web (baca : www) menjadi realitas baru bagi sebagian orang. Setiap realitas dicirikan oleh satu tingkat kesadaran yang spesifik mulai dari intensitas yang tinggi dalam kehidupan sehari-hari, sampai tingkat intensitas yang lebih rendah dalam tidur atau mimpi. Realitas kehidupan (the paramount reality), adalah salah satu bentuk realitas dalam dunia kehidupan. Ia kita alami dalam kondisi terjaga sepenuhnya, bersifat self evident, tertata, dan objektif dan kita percayai sebagai sesuatu yang kenyataan tertinggi dan kita terima apa adanya sebagai sesuatu yang “di sini” dan “saat ini” dalam sudut pandang seorang rasionalis. Sedangkan realitas-realitas yang lain hadir dalam wilayah makna yang terbatas. Realitas yang lain tersebut ada sebagian merupakan konstruksi dari kesadaran kita. Seorang individu bisa mengalami realitas-realitas tersebut sepanjang hari, tapi kesadarannya akan tetap selalu kembali ke realitas kehidupan sehari-hari. Perjalanan antar-realitas ini seperti naik turunnya layar dalam panggung teater (Berger & Luckman, 1990).

Hal ini tidak menjadi masalah yang umum hingga munculnya bentuk-bentuk media komunikasi yang baru, yang tidak hanya bertindak sebagai “realitas kamera” untuk membedakan dengan realitas peristiwa non komunikasi. Dalam kerangka ini media sebagai blodok atau transitnya ilmu pengetahuan dan teknologi (mediametamorfose) kemudian meluruh dan menyatu dengan realitas kehidupan. Lima puluh tahun yang lalu radio masih menjadi alat komunikasi utama yang mengirimkan pesan dari komunikator dalam bentuk verbal kemudian ditransformasikan melalui gelombang (blodok) untuk kemudian diterima komunikan sebagai pesan verbal kembali, dalam kasus ini masih ada pembatas atau jarak antara pemberi pesan dengan penerima pesan yang berwujud gelombang-gelombang radio. Seseorang tidak akan “kecanduan” radio karena realitas radio cukup jauh dengan realitas kehidupan, realitas radio dimanifestasikan lewat gelombang yang diterima dalam bentuk audio melalui salah satu indera manusia berupa telinga. Sehingga seseorang dengan mudah akan mempersepsikan suara yang didengarkan sebagai sesuatu yang “tidak disini” dan “bukan saat ini” sebagaimana realitas kehidupan.

Tahun 1988, John Walker mengusulkan sebuah proyek “Pintu masuk ke dalam cyberspace” dengan moto “Reality is not enough anymore” . TV, komputer, dan internet telah mendorong orang mulai mempertimbangkan alternatif realitas lain di luar realitas kehidupan sehari-hari. Teknologi informasi multi-media telah memperkenalkan hiperrealitas, simulasi, dan virtual reality yang tidak bisa lagi dilihat hanya sebagai cermin dari realitas kehidupan, namun sebagai others (Budiman, 2002) atau realitas lain yang memiliki level kesadaran yang sama dengan realitas kehidupan sehari-hari. Teknologi informasi multi-media tersebut tidak hanya menyasar indra pendengaran, namun lebih dari itu merupakan teknologi yang memberikan stimulus pada sensasi pendengaran, penglihatan, dan sentuhan (vibrasi). Dengan begitu teknologi ini sudah hampir mendekati stimulus realitas kehidupan sehari-hari yang direspon oleh kesadaran melalui lima macam indra (pendengaran, penglihatan, sentuhan/tekanan, penciuman, dan pengecap).

Menurut David Hume (1711-1776), seorang filsuf dari Inggris mengatakan bahwa manusia memiliki dua jenis persepsi, yaitu kesan dan gagasan. Yang dimaksud dengan “kesan” disini adalah penginderaan langsung atas realitas lahiriah. Sedangkan “gagasan” adalah ingatan akan kesan-kesan semacam itu. Jika tangan kita menyentuh api, kita akan mendapatkan “kesan” panas dan segera hindari. Setelah itu kita dapat mengingat bahwa tangan kita terbakar. Kesan lebih kuat dan lebih hidup daripada ingatan reflektif tentang kesan tersebut (gagasan). Kerangka ini memperkuat bahwa realitas kehidupan sehari-hari atau realitas lahiriah merupakan bentuk gagasan-gagasan yang kompleks yang merupakan refleksi dari respon-respon indra yang “disimpan” dalam pikiran. Sehingga sebuah apel bisa jadi memiliki bentuk yang lain sebagai “apel itu sendiri” bukan sebagai apel yang dipersepsikan oleh indra manusia, karena warna apel yang hijau hanya karena panjang gelombang cahaya yang diterima oleh mata adalah panjang gelombang warna hijau, rasa apel yang manis karena lidah kita merasakannya sebagai rasa manis, kontur apel yang halus karena indra perasa kita merasakannya halus.

Sehingga menurut pandangan ini sesuatu yang kita anggap “nyata” atau “real” adalah sesuatu yang relatif dan bisa dimodifikasi. Wilayah ini yang kemudian digarap oleh teknologi informasi yang menawarkan dan menjual realitas alternatif disamping realitas kehidupan sehari-hari. Masyarakat Indonesia sudah semakin akrab dengan teknologi multi media yang hadir sebagai hiperrealitas meskipun lebih sering gagap dalam menghadapinya. Sehingga hiperrealitas menjadi pedang bermata dua yang bisa dimanfaatkan secara positif atau sebaliknya justru mencelakakan seperti si istri yang kemudian dibunuh atau si anak yang kecanduan game online, keduanya memiliki benang merah karena keduanya “tenggelam” dalam realitas alternatif berupa jejaring dunia maya yang nampaknya masyarakat Indonesia belum siap menghadapinya sehingga justru terkurung dalam realitas semu yang menguasai atau berada di atas realitas kehidupan sehari-hari. Berbagai realitas baru yang maya mengurung masyarakat dari setiap arah : ekonomi virtual, politik virtual, budaya virtual, hubungan sosial virtual, media virtual. Sebaliknya meski lebih banyak efek buruknya, misalnya masyarakat barat sudah mampu mengambil sisi positifnya sebagai wahana untuk mengkampanyekan lingkungan yang sehat dan menggalang dana sosial, tentu saja pemanfaatan ini harus mengkombinasikan realitas virtual dengan tetap berpijak pada realitas sehari-hari.

Friday, February 6, 2009

Jakarta Padrover Adventure #1


Karena publikasi dalam bentuk foto belum juga di upload. Mere kehilangan chargerkamera Kodak 10.1 Mp-nya dan Dinaya tampaknya masih berusaha untuk belajar meng up load foto di facebook barunya, sayang hingga saat ini belum juga nongol. Maka supayatidak kehilangan momen saya tulis saja. Konon sejarah berawal dari tulisan, makasaya merasa tidak bertanggung jawab jika tidak menorehkan secuil tulisan yangmenceritakan peristiwa kecil bersejarah (soalnya jalan2nya di situs sejarah) di hari Minggu pagi 1 Februari 2009 itu...hehe
Bermula dari diskusi sebelum tidur, kala itu saya yang baru "jaga malam" di RSP Pertamina bertemu dengan dek Sandya, lulusan arsitektur UGM yang sekarang bekerja di sebuah bank pelat merah yang kebetulan juga sedang "fesbukan". Dalam diskusi yang kurang bermutu tersebut muncul ide untuk menggelar kembali acara kumpul-kumpul Padrover (baca : Ambalan YS-K) kompartemen Jakarta dan sekitarnya Akhirnya kami setuju untuk mengadakan pertemuan yang pertama berjudul "Jelajah Museum Jakarta #1" Ide, tujuan, sekaligus visi dan misinya adalah kita ingin keliling dari museum ke museum di bilangan Kota tua Jakarta dan berfoto-foto disana. titik.
Berangkat dengan ide, tujuan, visi, dan misi yang teramat sederhana tersebut saya dan sandya berusaha memobilisasi dan mendata para mantan personel Padrover yang sekarang terdampar dan berserak di Jabodetabek. Search engine saya menemukan nama Merejanah_deux, yang ternyata nama samaran dari Meredian Alam, seorang jebolan Padmanaba yang nunggak setahun. Mendengar ide tersebut, Mere yang kini bekerja di sebuah perusahaan multinasional yang punya fitnes center sendiri di daerah Cilandak itu tak terkira girangnya bahkan saya langsung diminta untuk menginap di kos-kosan elitnya. Mungkin karena rekan-rekan sekantornya tidak dapat memahami penolakan prinsipalnya terhadap dunia dugem yang mereka gemari jadi bisa dibilang Mere jarang "dolan" (yang dalam kamus Padrover dolan selalu berarti kumpul-kumpul, foto-foto, njuk mangan-mangan) bersama generasi ajep-ajep ini.
Sementara itu kawan Sandya memobilisasi personel dari kawasan Jakarta Pusat dan sekitarnya dan menemukan makhluk-makhluk aneh dari tlatah mataram bernama Dinaya, Risti,dan Ratna.
Alhasil hari H-1 saya meluncur ke Cilandak dengan motor legendaris AB 3934 WF keluaran tahun 2004 yang baru saja saya servis di Ahass dua minggu sebelumnya tapi rantainya sudah kembali dol. Perjalanan Karawaci - Serpong - Ciledug - Kebayoran Lama - Permata Hijau - Pondok Indah - Lebak Bulus- cilandak memakan waktu 2 Jam lebih sedikit, ternyata rute itu lebih jauh dari yang saya bayangkan dibandingkan rute biasanya yang saya pakai untuk menuju daerah Jakarta Selatan via Ciputat. Mendung sudah menggantung di langit sore ketika motor saya melaju melewati Cilandak Town Square menuju gedung Ratu Prabu 2, tempat saya bertemu Mere yang sudah bermandi keringat karena habis fitness.
Malamnya...anda bisa bayangkan sendiri lah. Saya sendiri di kamar bersama Mere sekasur, sebantal berdua ditemani majalah-majalah semacam Men's Health baik yang impor maupun lokal dan terserak pil-pil steroid penumbuh otot berdampingan dengan kecap bango dan wader goreng. hehe..
Minggu pagi setelah sarapan di warteg, saya, Mere, helm baru Mere, 2 botol Nu Tea, sekaleng abon, dan dua buah kamera digital berangkat menuju Kota tua. Tak berapa lama kemudian kami sudah duduk persis di depan Museum Fatahillah dengan menikmati bekal abon kami. Setengah jam kemudian muncul seseorang dari kejauhan, dengan kostum batik coklat dan sampai jarak 100 meter saya masih belum mengenali identitasnya setelah saya terkaget-kaget ternyata Dinaya sudah bukan Dinaya yang dulu lagi. Dinaya yang sekarang sangat langsing, tentu saja kata langsing disini jangan dibandingkan dengan langsing-nya Mas Joko atau Mas Juan, tapi dibandingkan dengan "appearrance" terakhir kali saya melihatnya (3-4 tahun yang lalu) sudah dapat dibilang revolusioner. Selamat Din ! Tak lupa Dinaya membawa amanah kakaknya Asa Paramesti untuk membagikan sovenir manten berupa cermin-cermin kecil yang lucu sekantong penuh dengan setengah memaksa, ben gawanane mulih enteng katanya.
Ketika Mere dan Dinaya sedang poto-poto "pre-wedding" muncul mbakRisti dari kejauhan dengan kaus biru dan jilbab kriwil-kriwilnya. Tak ada perubahan yang signifikan dari senior yang satu ini selain dirinya sudah pindah kerja menjadi anak buahnya Sudi Silalahi di sekneg.
Cukup lama kami menunggu tim inti yang lain sampai kami memutuskan untuk berjalan dulu menuju museum wayang di sebelah barat Museum Fatahillah, museum ini tidak begitu indah ketika masuk suasana terlihat gelap, lembab, dan suram. Terlihat beberapa orang wira-wiri dan dua orang penjaga tiket berbaju batik terlihat ogah-ogahan melayani Tiket masuk seharga 2 ribu per orang itu pun terasa cukup mahal dibandingkan kondisi museumnya, kami harus meniti anak tangga yang berderit-derit, tidak boleh poto2, dan display wayangnya yang tidak ergonomis bagi pengunjung. Mere sampai kasihan dengan wayang-wayang lusuh yang saling berdesak-desakkan itu.. "Kok ra do sumuk yo" katanya.Mungkin saja kalau malam mereka hidup dan berjalan-jalan untuk cari es teh dan melepas lelah karena dipajang di ruang pengap. Belum 20 menit berjalan tahu-tahu rute sudah verbodden dengan tulisan "SEDANG DIRENOVASI" meski kami tidak melihat tanda-tanda adanya renovasi. Wah nyebai, batinku. Kami kemudian harus berbalik lagi. Untungnya Sandya bersama Ratna sudah sms bahwa mereka akhirnya sudah sampai dan sudah nongkrong di depan museum Fatahillah. Kami pun cepat-cepat keluar sebelum wayang-wayang seram itu bangun dan mengejar.
Tepat jam setengah 12 siang kami ber-enam anggota JakPad (Jakarta Padrover) masuk ke bekas kantor gubernur jendral Hindia Belanda tersebut. Sesuai dengan visi misi semula kami pun berfoto-foto di dalam museum, di samping prasasti kebon kopi dan prasasti ciaruteun. Kami berpikir bahwa tidak begitu penting untuk membaca secara lengkap isi prasasti tersebut, jadi kami lanjut saja. Selain karena rame dan cukup pengap juga maka kami kemudian menuju taman di halaman belakang museum, disanalah Mere dan Sandya memuaskan hasrat narsisnya untuk melakukan pose-pose hot, terutama Mere yang seperti menemukan bakat alamnya sebagai model, sengaja dirinya berpose sampai 12 kali, kalau 10 kali kurang katanya, cuma sampai Oktober doang. Memang hasrat terpendamnya mau ndaftar jadi model kalender. Seingat saya esensi kegiatan ini tidak memasukkan unsur pendidikan, jadi memang tidak perlu menceritakan asal-usul gedung museum tersebut, hehe
Tadinya kami mau dhuhur di taman tersebut namun karena penuh sesak dengan pengunjung maka kami berenam memutuskan untuk lanjut ke museum berikutnya Museum Bank Indonesia dengan koleksi numismatiknya. Sepanjang jalan dua kamera digital Mere dan Dinaya tidak berhenti jeprat-jepret ditemani bakpao dan es potong. Sayang tidak ada kucing lewat untuk meden-medeni Sandya yang kucingphobia itu.
Setelah sholat di komplek museum BI kami pun mencari best spot untuk background foto bersama, akhirnya kami menemukan lorong bangunan lama yang cukup unik, kayak lorong2 di benteng vredeburg. Supaya tidak bosen saya mengusulkan supaya fotonya sambil loncat, tapi dasar cuma segerombol mantan-mantan yang sudah berumur untuk meloncat dua kali pun kami sudah ngos-ngosan. :DBaru sampai depan pintu masuk Sandya sudah heboh karena "Pintune mbukak dewe..!". Memang makhluk satu ini belum lama turun dari lereng gunung merapi untuk mengadu nasib di Jakarta, jadi kami pun memaklumi keheranannya akan teknologi mutakhir..hehehe,Bertolak belakang dengan dua museum sebelumnya, museum ini jauh lebih keren, ber-ac, dengan monitor flat dimana-mana sebagai penuntun pengunjung memahami sejarah bank Indonesia. Masuknya pun gratis.
Atraksi yang pertama adalah atraksi menangkap uang,dan yang paling penting boleh moto! Meski tidak boleh pake lampu flash. Wahana ini sangat menarik. Dalam ruangan yang gelap dan sejuk seperti di planetarium dengan bintang2nya terdapat gambar2 koin 3 dimensi yang beterbangan, melalui sensor bayangan pengunjung diminta untuk melingkarkan tangannya ke atas (seperti menyuruh anak2 pramuka untuk membentuk formasi melingkar), nah apabila gambar uang yang beterbangan itu masuk ke bayangan melingkar kita, maka uang itu akan berhenti sendiri dan muncul keterangan mengenai jenis koin, jaman apa koin itu digunakan sebagai alat tukar, dan berapa nilainya. Kami pun kegirangan bermain-main disini hingga pengunjung lain tergusur dengan polah kami yang gak karuan.
Perjalanan pun dilanjutkan ke ruangan diorama yang menggambarkan sejarah ekonomi dan model transaksi di nusantara dengan monitor2 layar sentuh kami melihat video mengenai cerita awal berdirinya bank Indonesia. Ruangan itu begitu bersih dan apik, terawat, dan alur pengunjung disesuaikan dengan waktu dari hindia belanda hingga jaman reformasi. Hingga di luar ruangan tersebut kami masih terpesona dan kembali berfoto-foto di dalam kompleks yang menyerupai Sekolah Sihirnya Harry Potter, ada kain-kain yang dipasang memanjang melayang di atap begitu banyak dan rapi. Sampai kami lupa rutenya ke arah selatan, kami malah foto-foto di taman yang bukan bagian dari alur pengunjung sampai diperingatkan dan diusir petugas, hehe.
Ruangan berikutnya adalah ruangan koleksi uang, ruangan itu bekas lemari besi yang sangat luas dengan pintu yang sangat tebal kayak di film2 yang ada perampokan bank-nya itu lho..Disana disimpan koin-koin dari jaman Majapahit hingga jaman modern, namun alur yang kami lalui terbalik jadi cerita yang kami baca disitu agak nggak nyambung, wah wis.Setelah terkagum-kagum dengan koleksi uangnya kami berfoto-foto (lagi) disana sampe puas. Tidak lupa sebelum keluar museum Dinaya meninggalkan gambar tangannya untuk dipajang di papan "saran dan pesan" di dekat pintu masuk. Supaya besok kalau mampir lagi bisa bilang "Kita dulu pernah kesini lho..la ini tanda tangannya" hehehe..Hingga waktu mau pulang kami baru sadar bahwa seharian baru makan bakpao, menyadari bahwa Mere satu-satunya personel yang bekerja di perusahaan yang ada fitness centernya (opo hubungane yo?) maka penanggung jawab utama urusan konsumsi adalah Mere, dan seperti dugaan kami Mere memang baik hati dan rajin menabung jadi kami bisa dengan santai ber-FGD di sebuah restoran fast food di stasiun kota sambil menentukan The Next Spot untuk kami kunjungi di PADROVER JAKARTA ADVENTURE #2!!!
Sebagai informasi bagi kawan-kawan yang mau bergabung, the next spot adalah TMS (Taman Marga Satwa) Ragunan, hari Minggu 1 Maret 2009 ! Yang mau bergabung bisa segera menghubungi Mere, Sandya, Dinaya, Ratna, Risti, atau Saya dengan uang pendaftaran 10rb gratis uang iuran bulanan (hehe ora ding..)

BK. Wijaya