" Hari ini Anda adalah orang yang sama dengan Anda di lima tahun mendatang, kecuali dua hal : orang-orang di sekeliling Anda dan buku-buku yang Anda baca..."

Monday, December 31, 2007

Aku Minta Tolong








Satu hal aku minta tolong
Suatu saat nanti malaikat menjemput
Berikanlah aku kertas A2 dan spidol marker
Meski harus menggali dan berlumur tanah
Berikanlah aku kertas A2 dan spidol marker
Di Mahsyar aku punya rencana
Menulis namamu besar-besar
Sehingga Dia melihat
Ada seseorang yang pernah menolongku
Ketika hancur semua asa
Ada seseorang yang pernah meraih tanganku
Ketika sirna semua mimpi

Tuesday, October 23, 2007

(Antoine de Saint-Exupery)

To be a man is... to be responsible. It is to feel shame at the sight of what seems to be unmerited misery. It is to take pride in a victory won by one's comrades. It is to feel, when setting one's stone, that one is contributing to the building of the world.

Friday, October 19, 2007

Damai Di Hati Damai Di Bumi Anak Negeri



" Jangan tumpahkan darah, sebab darah yang terpercik tak akan tertidur. “

Demikian pesan Salahuddin Al-Ayyubi ditujukan kepada anaknya Az-Zahir menjelang wafatnya. Pemimpin pasukan Islam ini juga dikenal dengan nama Saladin. Pria ini, digambarkan Ridley Scott dalam filmnya Kingdom of Heaven berperawakan kecil dengan muka sempit dan berjanggut panjang namun memiliki mata yang teduh. Ketika pasukan Salib menguasai Jerusalem pada tahun 1099 ribuan orang muslim dibantai dan pengikut Yahudi dibakar, sebaliknya ketika ia dan pasukannya berada di ujung pertempuran merebut Jarusalem pada tahun 1187 yang dilakukannya adalah menerima perjanjian damai dari sisa-sisa pasukan Salib yang sudah compang-camping, mereka dibebaskan, tanpa dendam. Orang ini juga yang dalam perang salib berikutnya ketika kota suci itu kembali diserang oleh pasukan Kristen kemudian menghentikan pertempuran saat tahu pemimpin Kristen, Raja Richard Berhati SInga sakit dan mengirimkan dokter beserta buah-buahan segar untuk sang pemimpin musuh. Untuk kemudian mereka menandatangani perdamaian, dan sampai sekarang masih tergambar dalam film Hollywood sekalipun bahwa mereka yang orang barat pun takjub bagaimana Islam bisa melahirkan orang sebaik itu.

Tapi adakah mereka melihat itu sekarang ? Ketika wajah Islam begitu garang, bengis, berlumuran darah. Ketika fatwa dijatuhkan kemudian bom diledakkan, yang terjadi adalah sebuah labirin kekerasan yang tidak berujung seakan mengamini pesan Saladin “ darah yang terpercik tak akan tertidur..” dan benar adanya, beberapa waktu setelah teror ditegakkan. Orang itu, George W. Bush yang barangkali merasa dirinya Raja Richard mendeklarasikan perang dengan apa yang disebutnya Axis of Evil, dengan teror tak berkesudahan sehingga detik ini darah masih terpercik di Irak, di Afghanistan. Pesan teror itu kemudian dibalas lagi dengan teror pula, bom di London, di Madrid, di Bali, di Jakarta. Seakan sejarah tak pernah mampir di bangku-bangku sekolah para tukang teror ini bahwa tidak pernah ada dalam kisah manapun, kekerasan yang bisa diakhiri dengan kekerasan yang lain.

Ketika Ramadhan kembali datang untuk kesekian kalinya, selalu ada sebuah harapan untuk mengibarkan bendera perdamaian dimana orang hidup tanpa takut. Namun sayup-sayup masih terdengar berita-berita kekerasan, sweeping, yang dilakukan oleh orang-orang dengan jubah dan kopiah putih. Seperti pengumuman bahwa Islam akan datang dengan pentungan dan segera akan mengobrak-abrik warung anda kalau tidak tutup di siang hari. Bukan sejarah yang mampir di dalam pikiran dan benak mereka, namun seruan-seruan untuk berperang, untuk membalas, untuk menegakkan “keyakinan”. Barangkali dalam bayangan mereka ketika lapak-lapak itu dihancurkan, ketika pedagang kecil itu tak berdaya dipukuli ada malaikat di belakang mereka yang memberi semangat. Mereka menciptakan ketaatan dengan konsep ketakutan. Persis dengan konsep yang diciptakan Oberfuhrer Eric Koch, pemimpin pasukan pendudukan Jerman di Kiev, Ukraina pada tahun 1941. Mereka, orang Ukraina yang dipandang manusia kelas 2 (herrenmench) hanya akan taat bila mereka takut. Hasilnya adalah sebuah teror dan pembantaian yang mengerikan.

Salah satu pesan Ramadhan adalah menahan nafsu, tentu saja ini termasuk nafsu amarah. Kita selalu tidur malam untuk beribadah dan kemudian bangun pagi untuk makan sahur, namun lepas shubuh yang tertinggal dalam pesan puasa adalah tidak makan dan minum selebihnya kita tinggalkan sambil lalu, tawuran jalan terus, perebutan lahan terjadi kembali, dan masih bertindak sewenang-wenang pada “mereka” yang bukan “kita”. Tentu saja semua kegiatan ini selalu bergandengan dengan amarah dan kekerasan. Semangat untuk berdamai sudah ditinggalkan dalam wajah yang murung dan sedih. Seperti wajah Ali bin Abi Thalib yang menunduk sedih, ketika utusan damai yang ia kirimkan, seorang pemuda Kufah yang sukarela berjalan kehadapan pasukan Aisyah dengan mengacungkan Al-Quran di tangan kanannya sebagai tanda perdamaian ditebas lehernya. Ali mengucapkan do'a untuknya, sementara air matanya deras membasahi wajahnya. "Sampai juga saatnya kita harus memerangi mereka. Tetapi aku nasihatkan kepada kalian, janganlah kalian memulai menyerang mereka. Jika kalian berhasil mengalahkan mereka, janganlah mengganggu orang yang terluka, dan janganlah mengejar orang yang lari. Jangan membuka aurat mereka. Jangan merusak tubuh orang yang terbunuh. Bila kalian mencapai perkampungan mereka janganlah membuka yang tertutup, jangan memasuki rumah tanpa izin, janganlah mengambil harta mereka sedikit pun. Jangan menyakiti perempuan walaupun mereka mencemoohkan kamu. Jangan mengecam pemimpin mereka dan orang-orang saleh di antara mereka." (Rahmat, 1991) Dan para penyerang itu kalah.

Ada sebuah kisah tentang seorang anak yang selalu kesulitan menahan amarahnya, dan selalu memaki-maki orang lain, menyakiti teman-temannya bila ia merasa marah sedikit saja. Suatu saat ia merasa sadar hal yang ia lakukan tidak benar dan ia sendiri merasa tergganggu olehnya namun tidak bisa menguranginya. Anak itu mendatangi ayahnya, menceritakan risaunya dan ayahnya berpesan ”Anakku, tiap kali engkau marah pada seseorang tancapkanlah paku di dinding kamarmu” begitu pesan ayahnya. Hari-harinya dilakukan untuk memaku kamarnya setelah itu. Beberapa minggu kemudian sang ayah mendatangi kamar anak itu yang sudah penuh paku. Ia kembali berpesan ” Nak, sekarang cabutlah semua paku itu”. Anak itu mencabut semua paku itu kemudian Ayahnya berkata ” Seperti dinding ini nak, mungkin kamu bisa meminta maaf pada orang yang telah kau sakiti, mungkin kamu bisa mencabuti paku-paku itu dengan mudah. Tapi tidak bekasnya, lubang-lubang bekas paku itu akan terus ada, begitu pula hati mereka yang telah kau sakiti telah kau tancapkan paku di dadanya dan bekasnya akan selalu ada...”

Pepatah vietnam mengatakan ” Seribu teman terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak” Jadi mungkinkah kita mengibarkan bendera perdamaian itu saat ini menjelang Hari Raya ? Ketika hati manusia diputihkan kembali, dilahirkan kembali layaknya bayi yang putih suci. Seperti senyum kecil Saladin pada musuhnya dan matanya yang teduh. Tanpa dendam.



Tuesday, October 16, 2007




Sejak Gutenberg menciptakan mesin cetak pertamanya, maka segala rupa ilmu yang sebelumnya telah dikumpulkan, dicatat, ditulis, untuk kemudian diterjemahkan oleh para rahib Ordo Santo Benedictus di biara-biara batu yang sumpek dan penuh dengan manuskrip dapat diterbitkan secara massal dan mulai menyebar ke seantero Eropa, buku-buku tebal inilah yang ditelan oleh pemikir-pemikir yang menciptakan gagasan-gagasan besar seperti demokrasi, ilmu pengetahuan, sosialisme, nasionalisme, filsafat. Kerjasama tidak langsung ini bak sebuah labirin raksasa perkembangan ilmu pengetahuan yang mengantar bangsa kulit putih dalam setiap penjelajahan, dalam setiap penaklukan dan membuat mereka sebagai pemenang tongkat estafet kekuasaan di bumi hingga kini, setelah surutnya zaman keemasan para khalifah.



Semua itu berkat kubus-kubus logam yang sedikit lebih besar dari dadu, dengan kejeniusannya Gutenberg mengukir huruf latin dalam kubus-kubus tersebut untuk kemudian disusun dan jadilah mesin cetak purba yang mampu menggantikan proses penerbitan sebuah buku yang bisa memakan waktu berbulan bahkan bertahun-tahun dengan ditulis tangan menjadi ratusan bahkan ribuan buku dalam hitungan hari. Sebuah embrio teknologi cetak massal yang mengabadikan kisah-kisah Syshipus, pemikiran Plato, perjalanan Marcopolo, hingga ilmu pengetahuan peradaban Islam yang tadinya tersimpan rapi di perpustakaan Baghdad.

Satu kata kunci, budaya literer. Tersebarnya budaya tulis telah mengubah sebuah peradaban dan mengantarkannya kepada pencerahan,renaisanss semua segi kehidupan. Untuk kemudian sedikit demi sedikit, namun pasti melahap semua khazanah budaya yang ada di bumi dalam cengkeraman global (baca:westernisasi). Sebuah penyeragaman yang tidak disadari (unsconscious).

Sementara pada abad 5 M di sudut bumi yang lain, ketika Eropa masih bergelut dengan kegelapan (dark age) dan para tuan tanah hidup di kastil-kastil kayu yang rapuh yang dipagari dengan palisade wall (tonggak-tonggak kayu runcing), sebuah saluran irigasi sepanjang 11 km sedang dibangun dan diberi nama Gomati selama 21 hari dipimpin oleh seorang raja bernama Purnawarman. Dengan sistem penanggalan yang rumit prosesi religius berupa pengorbanan 1000 ekor sapi sekaligus kegiatan sosial ini dicatat dalam sebuah batu prasasti dengan huruf Pallawa bahasa Sansekerta. Sekian tahun sebelumnya di seberang kerajaan tersebut sebuah upacara kurban juga dicatat dalam huruf Pallawa pada tonggak-tonggak batu. Tujuh buah Yupa yang menceritakan kegiatan upacara Syiwa dipimpin oleh Sang Mulawarman dari kerajaan Kutai. Kegiatan catat-mencatat ternyata sudah setua 16 abad ada di Nusantara. Meski terbatas pada prosesi keagamaan dan dituliskan pada batu sebagai prasasti, mungkin juga daun lontar.

Namun tidak seperti Kaisar Meiji yang dengan cepat menyadari ketertinggalannya lalu segera mengirimkan putra-putra terbaiknya untuk menyerap ilmu di Eropa. Raja-raja Singasari hingga Mataram justru berlumur darah dan saling bunuh satu sama lain, mewarisi kutukan tujuh turunan, bahkan lebih dari keris Empu Gandring yang digunakan Ken Arok –Sang Bapak Raja-raja untuk melakukan kudeta merebut kekuasaan Tunggul Ametung dengan penuh kelicikan dan rekayasa. Hingga ratusan tahun kemudian kelicikan yang sama terjadi kembali dilakukan oleh Panembahan Senapati, penguasa Mataram menindas dan membantai penduduk Mangir, sebuah simbol oposisi yang tidak mau begitu saja tunduk pada kekuasaan absolut sampai pembantaian rakyat kecil yang dituduh komunis oleh kekuasaan Orde Baru, dan masih banyak lagi kisah mengenai darah yang tercecer di bumi Nusantara.

Mereka melupakan aksara Pallawa dan lebih suka menggunakan bahasa tutur untuk menceritakan kisah-kisah perang dan cerita-cerita takhyul tentang buto ijo atau makhluk halus dan kawan-kawannya. Epos Mahabarata dan Ramayana yang berlatar belakang sejarah dicomot mentah-mentah dari India dan berubah menjadi kisah dewa-dewi yang hidup di gunung-gunung, merapi, semeru dan hanya berkutat di Jawa dan sekitarnya. Lokalitas dan budaya dongeng merupakan ramuan yang tepat untuk mengurung intelektualitas bangsa imigran dari Indocina ini, yang dengan mudah dapat dikalahkan dan dihancurkan oleh meriam dari kapal-kapal ekspedisi Vasco Da Gama. Menjadi bangsa yang berkepribadian otoriter (otoritatian personality) dan berpikiran pendek seolah semua hal bisa diselesaikan dengan menghunus keris.

Maka alangkah jahatnya bangsa ini bila masih saja melupakan huruf Pallawa sebagai simbol kebangkitan budaya literer, yang kemudian juga dipelajari di universitas Nalanda, sebuah perguruan tinggi pertama di kepulauan ini pada masa Sriwijaya.

Goreskan penamu sekarang juga ! Ramaikan ketukan tuts keyboard detik ini juga !
Menuju kebangkitan Nusantara !!





Monday, October 15, 2007

Selamat Hari Raya Idul Fitri



Taqabalallahu minna wa minkum

Mohon Maaf Lahir dan Bathin...


Tuesday, May 1, 2007

Apa itu Menjadi Dewasa ?

Sudahkah kita dewasa ?
Pernahkah suatu kali kita merasa iri dengan posisi orang lain dalam perusahaan ? Dengan gaji orang lain, ataupun dengan pendapatan orang lain ? Kemudian kita mengeluh dan mengambil jarak (baca : ngambek), perasaan hati jadi tak enak, mau kerja jadi malas. Kalau memang pernah kita seperti itu, tentu hal ini mengingatkan kita semasa masih sekolah di SD atau TK. Ketika kita kadang menangis kalau seorang teman diberi permen sedangkan kita tidak, atau ketika kita merengek-rengek minta dibelikan boneka atau mobil-mobilan. Perilaku-perilaku ini sebenarnya sama persis sifatnya, hanya semakin tua caranya menjadi semakin canggih ditutupi dengan alasan-alasan.
Contoh-contoh perilaku tadi menunjukkan sifat yang tidak dewasa. Pengertian ”dewasa” sangat berbeda dengan ”tua”. Banyak orang tua yang perilakunya tidak menunjukkan kedewasaan, sebaliknya banyak juga anak muda yang sikap dan perilakunya menunjukkan dirinya sudah dewasa. Namun terkadang pengertian dewasa ini sendiri masih sering membingungkan. Pada banyak kasus dewasa berarti sudah memiliki pekerjaan sendiri, punya gaji, bisa menghidupi diri sendiri dan tidak tergantung pada orang lain lagi secara material. Pada kasus yang lain dewasa berarti sudah menikah, karena banyak orang sudah bekerja tapi masih juga tergantung secara materi dengan orang lain dan selama masih tergantung dengan orang lain seseorang belum bisa dianggap dewasa.

Dewasa berarti...
Sebenarnya pengertian-pengertian dewasa yang umum dipahami oleh banyak orang terkadang justru menyesatkan. Menurut seorang ahli psikologi perkembangan G.W. Allport mengatakan bahwa masa ketika remaja adalah suatu masa transisi dari periode anak ke dewasa. Pengertian dewasa itu sendiri menurut Allport :
1. Extension of self atau “pemekaran” dari diri sendiri. Hal ini berarti seseorang mampu untuk menganggap orang lain sebagai bagian dari dirinya. Contoh yang paling mudah adalah tumbuhnya perasaan “cinta”. Orang dewasa yang mencintai biasanya diikuti dengan berkurangnya perasaan egoisme. Jadi apabila kita sudah beristri tapi salah satu masih menunjukkan egoisme dan memikirkan diri sendiri itu artinya kita belum bisa disebut mencintai apalagi dikatakan dewasa (mature personality).
2. Pernahkah kita melihat kaos oblong yang dibagian punggung ada tulisan “silakan mengaca” dan diatasnya ada cermin yang bergambarkan seekor monyet ? Menjadi dewasa berarti mampu untuk melihat diri sendiri secara objektif (Self Objectification). Pengertiannya adalah ketika kita bisa “mengaca” melihat kepribadian kita sendiri. Dalam hal ini berarti tidak marah ketika menerima kritik dan justru kritik itu menjadi sarana untuk instropeksi diri, melihat kesalahan-kesalahan yang ada pada diri sendiri. Nah, apakah kita itu “monyet” yang mudah marah dan hanya memikirkan diri sendiri atau seorang manusia dewasa yang mampu lebih bijak menghadapi orang lain ?
3. Seorang yang dewasa dia memiliki falsafah hidup tertentu (Unifying Philosophy of Life). Biasanya hal ini berhubungan dengan etika atau agama. Sederhananya orang yang sudah dewasa dia itu tahu aturan, tidak berbuat seenaknya sendiri atau bertindak hanya untuk kepuasan sesaat. Dengan memiliki tujuan hidup / cita-cita yang jelas diikuti dengan ketegasan untuk mencapainya dalam perilaku sehari-hari. Misalnya dengan tidak mudah terpengaruh ajakan rekan yang bersifat merusak, otoriter, anarkis, atau korupsi maka kita akan paham bahwa kepuasan yang didapat dari perbuatan itu hanya sesaat dan bisa merusak diri sendiri.

Menjadi Tua atau Dewasa ?
Tidak banyak orang yang benar-benar mampu untuk menjadi dewasa secara penuh. Semua orang dalam hidupnya terus mengalami perkembangan menjadi lebih tua, namun lebih tua tidak berbanding lurus dengan menjadi lebih dewasa. Justru sebaliknya bagi sebagian orang semakin tua seseorang malah semakin kelihatan sifat kekanakannya. Tidak heran ketika narkoba juga banyak dinikmati oleh orang-orang yang sudah “tua”, kekerasan dan kerusuhan terjadi dimana-mana, serta korupsi merajalela di setiap instansi atau perusahaan.
Jadi, apakah sifat kekanak-kanakan itu akan kita pelihara terus ?...its your choice !

Friday, April 27, 2007


Metode Enam Topi Berpikir

Sudah menjadi kebiasaan, Pak Joko sampai di rumah sudah pukul 10 malam. Istri dan kedua anaknya sudah dibuai mimpi, yang membuka pintu pun pembantunya. Dalam sebulan setidaknya hanya beberapa hari saja Pak Joko, seorang manager di perusahaan makanan ternama yang sedang berkembang bisa pulang agak “sore” sekitar jam 7 atau jam 8 malam. Selebihnya ia mesti mengikuti meeting bersama dengan para manager lain hingga larut malam, padahal pertemuan-pertemuan itu biasanya dimulai setelah makan siang, atau bahkan dari pagi. Kegiatan rutin tersebut menyiksa Pak Joko, selain kondisi fisiknya jadi menurun karena capek, waktu untuk bercengkrama bersama keluarganya “tercuri” dan ia khawatir anak-anaknya yang masih kecil tidak memiliki kedekatan lagi dengan ayahnya. Pak Joko teralienasi di rumahnya sendiri.
Sering kali meeting itu sendiri berlangsung lama dan berlarut-larut bukan karena membahas hal-hal yang krusial, waktu menjadi molor dikarenakan lebih banyak ngobrolnya daripada diskusinya. Kalaupun terjadi diskusi, yang terjadi adalah perdebatan saling menyalahkan dan bahkan cenderung saling menjatuhkan. Pak Joko jadi ingat ketika ia berkelahi dengan teman sepermainannya 30 tahun yang lalu kalau hal semacam itu terjadi. Waktu untuk rapat menjadi tidak efektif, pemimpin perusahaan yang juga ikut rapat terkadang mengeluh karena tidak mampu “mengendalikan” para managernya. Sebenarnya mereka orang-orang yang cerdas dan ide-idenya cemerlang. Namun kecemerlangannya lebih sering redup bila sedang “berkelahi” di ruang rapat. Ilustrasi semacam ini sudah menjadi hal yang umum di perusahaan-perusahaan muda yang sedang maju dan berkembang pesat. Karyawan-karyawannya yang relatif masih belia terkadang berlebihan dalam menyalurkan energinya.
Banyak cara untuk membuat sebuah rapat / meeting menjadi lebih efektif dan efisien dalam hal waktu. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan metode 6 topi berpikir. Metode ini diciptakan dan dipopulerkan oleh Edward De Bono, seorang Rhode Scholar di Oxford University sekaligus pengajar di Cambridge, London, dan Harvard.


Enam Topi Berpikir

Bono menganalogikan proses berpikir seperti seorang tukang kayu yang sedang bekerja, dalam bekerja seorang tukang kayu melakukan proses sebagai berikut :

1. Memotong
2. Menempelkan
3. Membentuk

Memotong adalah memisahkan satu bagian dengan bagian yang lain, dalam proses berpikir ini bisa disamakan dengan proses analisis, focus, pemilahan, dsb. Sedangkan menempelkan berarti menyatukan potongan-potongan yang sesuai, proses ini bisa dianalogikan sebagai koneksi, sintesis, pengelompokan, dsb. Kemudian proses membentuk adalah mengusahakan bentuk dari potongan yang sudah ditempelkan menjadi satu bagian yang sempurna sesuai dengan yang kita inginkan, analoginya dalam berpikir adalah menilai, membandingkan, memeriksa, dsb.
Metode enam topi berpikir hanyalah salah satu metode untuk membuat berpikir menjadi lebih efektif serta efisien dari sekian banyak metode yang ada. Seperti dalam kisah Pak Joko, karena proses berpikir masing-masing manager yang mengikuti meeting tidak efektif maka rapat berjalan dengan tidak efektif pula dan memakan waktu yang sangat lama untuk membuat sebuah kesimpulan. Dalam berpikir, kita sering mencoba melakukan terlalu banyak hal pada saat bersamaan. Saat mengungkapkan ide-ide baru, terkadang emosi kita ikut campur sehingga apabila ada kritik yang kita lakukan adalah tindakan defensif dan tetap menganggap bahwa ide kitalah yang terbaik. Apalagi apabila emosi yang mendominasi pikiran maka perbuatan kita akan sangat negaif.
Metode ini bisa menjadi salah satu alternatif untuk membantu Pak Joko mengusulkan metode meeting yang efektif dengan menggunakan Enam Topi Berpikir. Proses awal yang harus dilakukan adalah, seperti Sang tukang kayu :

Memotong.
Dalam metode ini ada 6 topi dengan warna yang berbeda-beda. Setiap warna mewakili satu jenis kegiatan berpikir :
Topi Putih
Fakta, Angka-angka. Informasi apa yang kita punya ? Informasi apa yang kita cari ?
Topi Merah
Emosi, perasaan, intuisi. Bagaimana perasaan saya tentang masalah ini sekarang ?
Topi Hitam
Kehati-hatian, kebenaran, penilaian, pencocokan data. Apa yang datanya cocok ? Apakah akan berhasil ? Apakah aman ? Apakah bisa dilaksanakan ?
Topi Kuning
Sisi yang menguntungkan, manfaat, penghematan. Apa keuntungannya ? Mengapa ini baik dilakukan ?
Topi Hijau
Eksplorasi, saran-saran, ide-ide baru, tindakan alternatif. Adakah ide yang lain ?
Topi Biru
Helicopter view, menyimpulkan, pengendalian kegiatan berpikir. Sampai dimana kita sekarang ? Bagaimana langkah selanjutnya ?

Mengapa topi ? Karena topi ada di kepala, berhubungan dengan pikiran, mudah dipakai dan mudah pula dilepaskan. Proses memotong dan memilah ini membantu kita untuk lebih focus. Kita bisa memakai topi yang mana saja satu-persatu, melepas topi yang satu dan kemudian memakai topi yang lain secara berganti-ganti. Metode ini adalah metode untuk memusatkan perhatian kita pada aspek tertentu dalam berpikir.
Pakai topi berpikir untuk mengarahkan proses berpikir dalam sebuah diskusi. Pakailah topi hitam untuk menunjukkan apa ada yang keliru dengan ide-ide yang sudah ada.
“Pakailah topi merah anda dan katakan bagaimana perasaan anda saat ini, bila keputusan tersebut diambil…”
“Apa ada ide-ide baru ? Bagaimana kalau kita gunakan topi hijau untuk ini ?”
“Mari kita gunakan topi putih, apa fakta-fakta yang kita dapat ? Informasi apa yang sudah kita peroleh ?”
Terus gunakan proses ini untuk memilah-milah proses berpikir sehingga alur permasalahan menjadi jelas dan ada alternative solusi yang didapatkan (topi hijau), apa kerugiannya (topi hitam), dan apa untungnya (topi kuning). Kemudian jangan lupa untuk menggunakan topi biru sebagai pengarah, sudah sampai dimana permasalahan dibahas dan kesimpulan apa yang bisa diambil.

Menempelkan
Setelah kita mampu memilah-milah antara fakta, ide, emosi, dan lain-lain dengan topi-topi tersebut. Kemudian kita bisa menghubungkan topi-topi tersebut menurut aturan tertentu :


Topi putih dan Topi merah
Penggunaan topi putih ada kalanya sangat dekat dengan topi merah, misalnya ketika ada yang mengatakan “Saya merasa bahwa minuman ini nantinya akan laris di pasaran”, memang disini kita tidak jelas kepastiannya, Namun bila kita punya data dan fakta (penjualan jenis minuman yang sama, pengujian pasar, dll) itu berarti kita punya fakta yang masuk akal. Ungkapan keragu-raguan adalah topi merah, tapi ini bisa didukung dan berdasar fakta yang valid (topi putih)

Topi hitam dan Topi kuning
Berpikir menggunakan kedua topi ini sama-sama berpikir yang sifatnya menilai dan harus dengan alasan yang kuat, karena apabila tidak maka penilaian kita sifatnya perasaan atau intuisi dengan begitu topi merahlah yang dipakai. Topi hitam melakukan penilaian kritis dan mencegah kita untuk melakukan kesalahan atau hal yang sembrono, misalnya dengan menggunakan pernyataan “Apakah ini benar/cocok ?” atau “Apa saja resikonya ?” Sedangkan topi kuning digunakan untuk mencari manfaat dan keuntungan “Keuntungan apa yang akan kita peroleh ?”. Kedua topi itu sepenuhnya logis dan saling melengkapi satu sama lain.

Topi Hijau dan Topi Biru
Topi hijau adalah lawan dari topi biru, topi hijau penuh dengan energi kebebasan berpikir, sedangkan topi biru berisi pengendalian dan pengarahan proses berpikir. Berpikir kreatif bisa dimunculkan dengan pemakaian topi hijau, karena hal ini berarti gagasan baru, solusi baru, provokasi dan alternative baru. Tidak ada jawaban yang salah bila kita sedang memakai topi hijau. Apabila ada pertanyaan “Bagaimana caranya mempercepat pengiriman barang ?” bisa saja seorang dengan topi hijau mengajukan usul “Pasang mesin jet dan sayap di setiap truk ekspedisi supaya bisa terbang !” Tentu saja kita harus pakai topi yang lain setelah topi hijau dilepas. Sedangkan ketika menggunakan topi biru, bayangkanlah langit biru dan kita ada disana naik helicopter (helicopter view) maka kita bisa melihat seluruh kota dengan jelas. Begitu pula ketika menggunakan topi biru maka kita akan mengarahkan si topi hijau untuk mengontrol proses berpikir menjadi lebih realistis dan sesuai dengan tujuan utama. Pertanyaan yang bisa digunakan ketika memakai topi biru adalah “Dimana posisi kita sekarang ?” atau “Apa langkah selanjutnya?” Dengan itu kita bisa mengambil kesimpulan.

Membentuk
Setelah kita tahu bagaimana hubungan antar topi maka analogi dari proses “membentuk” Sang Tukang Kayu adalah bagaimana kita bisa menggunakan keenam topi ini dengan efektif ? Ada dua cara menggunakan keenam topi tersebut yaitu penggunaan yang sesuai dengan kebutuhan dan penggunaan yang sistematis.
Kita menggunakan topi sesuai kebutuhan saja. Dalam arti suatu saat kita mungkin hanya perlu menggunakan salah satu topi saja, atau dua. Topi tersebut memberi jalan untuk mengarahkan serta mengganti alur pikiran. Sedangkan untuk penggunaan yang sistematis berarti kita menggunakan keenam topi itu secara berurutan atau berganti-ganti dengan tujuan tertentu dan setiap topi bisa digunakan lebih dari satu kali. Misalnya untuk aktivitas seperti :

Mencari Ide
Maka urutan warnanya mungkin :
Putih : Mengumpulkan informasi
Hijau : Eksplorasi lebih lanjut dan temukan alternative-alternatif
Kuning : Nilai manfaat, keuntungan setiap alternatif
Hitam : identifikasi kelemahan dan bahaya setiap alternative
Hijau : Kembangkan lebih lanjut alternative yang lebih menjanjikan dan pilih
Biru : Simpulkan proses yang telah dicapai dalam proses berpikir ini
Hitam : Buat penilaian terakhir terhadap alternative yang dipilih, resiko-resikonya
Merah : Apa yang dirasakan / pendapat kita tentang alternative yang dipilih

Bereaksi Terhadap Suatu Ide
Dalam hal ini ide sudah diperoleh dan informasi latar belakang juga sudah diperoleh :
Merah : Apa yang kita rasakan / pendapat pribadi tentang ide
Kuning : Cari manfaat ide tersebut
Hitam : Cari kelemahannya, masalah, dan bahaya ide tersebut
Hijau : Berdasar info yang didapat pada topi kuning dan hitam, tentukan apakah ide tersebut bisa diubah ?
Putih : Cari dan perkaya lagi informasi yang ada untuk membantu menguatkan ide tsb (kalau masih ada perasaan (topi merah) yang mengganjal)
Hijau : Kembangkan bentuk akhir
Hitam : Beri penilaian bentuk akhir
Merah : Bagaimana perasaan kita tentang hasil akhir ini.

Urutan Pendek
Kuning/hitam/merah : untuk menilai suatu ide dengan cepat
Putih/hijau : untuk mencari ide
Hitam/hijau : untuk menyempurnakan ide yang sudah ada
Biru/hijau : untuk menyimpulkan dan mendata alternative-alternatif
Biru/kuning : untuk melihat apakah proses berpikir yang sedang dilakukan bermanfaat

Berikut tadi proses metode enam topi berpikir dan sebenarnya masih bisa dilakukan alternative-alternatif penggunaan yang lain. Keenam topi berpikir itu biasanya digunakan satu persatu dalam alur berpikir. Dalam penggunaan yang sistematis, urutan topi berpikir dapat memandu proses berpikir sesuai dengan kebutuhan. Dengan begitu diharapkan penyelesaian masalah atau pembahasan ide-ide baru dalam sebuah rapat / meeting dapat dilakukan dengan efektif dan efisien tidak perlu sampai berjam-jam apalagi sampai larut malam dan Pak Joko pun tidak akan pulang terlambat lagi sehingga bisa bertemu dengan istri dan anak-anaknya…