" Hari ini Anda adalah orang yang sama dengan Anda di lima tahun mendatang, kecuali dua hal : orang-orang di sekeliling Anda dan buku-buku yang Anda baca..."

Wednesday, December 31, 2008

Asli Jogja

Goenawan Muhammad pernah bertanya pada seorang seniman, mereka sedang bersantai di
sebuah kafe di Manhattan, yang terjemahan bebasnya "Mbak aslinya mana?" dan dijawab
"Saya bukan dari mana-mana, saya warga dunia". Mungkin GM sebenarnya ingin tahu si Mbak
ini lahirnya dimana, di negara mana, di kota mana. Namun pengertian asal tempat lahir
ini kemudian menjelma menjadi identitas dan stereotipe.


Seperti ketika kita menanyakan, misalnya "Ndi aslimu ngendi je?" kemudian dijawab "Seko
Banyuwangi", kemudian si penanya yang orang Jawa itu mengasosiasikannya dengan orang
Blambangan atau orang Osing, dan dia membatin "Hmm Indi ini pasti punya kaitan dengan
orang-orang yang sukanya menculik perempuan untuk dinikahi.." Seperti halnya keyakinan
sebagian orang tua Jawa yang menganggap perempuan Sunda dengan stereotipe tertentu
sehingga sebisa mungkin anaknya ga usah menikah orang sunda.


Bagi para perantau seperti saya yang bekerja di Jakarta ada istilah Pulkam alias pulang
kampung. Kata pulang menurut KBBI berarti "pergi ke rumah atau ke tempat asalnya".
Kawan saya di kantor sering berseloroh " saya nggak pulang nih, orang saya betawi
aslee..". Jadi arti pulang disini sebenarnya tereduksi, sehingga pulang hanya milik
orang non-Jakarta atau lebih khususnya non-betawi yang kembali ke kota asalnya.
Padahal ketika saya mau balik lagi ke Jakarta saya bilang sama Mbah saya "Mbah kulo
badhe wangsul --pulang-- teng Jakarta, nyuwun dongane nggih.." demikian kira-kira,
sehingga pengertian pulang disini bertabrakan dengan pengertian pulang sebelumnya. Jika
pulang yang pertama berarti "pergi ke tempat asal" dan secara tidak langsung menjadi
identitas bahwa saya orang Jogja soalnya saya pulang ke Jogja. Sedangkan pengertian
pulang yang kedua adalah "kembali" yang tidak ada urusannya dengan pengertian
identitas.


Seringkali saya sendiri memberikan "pagar" untuk memudahkan saya mengenal orang satu dengan yang lain, oh si Horas dari Medan, oh si Kalpika dari Bali, dan seterusnya. Tujuannya jelas positif, supaya saya bisa dengan cepat menyesuaikan diri bila mengobrol, misalnya dengan si Horas saya kecil kemungkinan akan bertanya "Bagaimana pantai Kuta sekarang, rame ya?" pertanyaan itu untuk si Kalpika.

Namun "pagar" ini lebih sering digunakan untuk menyatakan wilayah dan menghakimi daripada sebagai alat bantu untuk saling mengenal. Orang Batak Sanggau Ledo pasti langsung curiga jika berpapasan dengan orang Madura, begitu pula sebaliknya. Anggota FPI pasti akan melihat dan memperlakukan orang Ahmadiyah berbeda dengan orang Muhammadiyah.Lebih dari itu pagar-pagar itu kini semakin menyempit, bersilangan, semakin tinggi dan meruncing. Seperti tembok yang dibangun Israel untuk membedakan wilayahnya dengan Palestina.

Sebuah kisah mengatakan bahwa dahulu kala Tuhan menjatuhkan sebuah cermin dari langit dan pecahannya terserak di seluruh muka bumi. Setiap orang di belahan bumi yang berbeda menemukan cermin itu dan tergetar oleh keajaibannya, mereka mulai mengenal penciptanya dari pantulan cermin tersebut dan Tuhan memerintahkan para penemu cermin untuk menyatukan kembali pecahan-pecahan tersebut dengan mengenal orang dari belahan bumi yang lain, pekerjaan itu tidak pernah selesai. Para penemu cermin mewariskan kisah dan tugas berat ini pada anak keturunannya sehingga kisah cermin tersebut menjadi sejarah dan membentuk bangsa-bangsa. Namun bukannya disatukan, pecahan cermin ajaib itu dipecah-pecah karena semua orang ingin memiliki, mereka memperebutkannya, bahkan menggunakannya sebagai senjata untuk melukai bangsa yang lain. Setiap pemilik cermin merasa cerminnya yang paling asli dan merasa Tuhan memerintahkan untuk merebut cermin dari bangsa lain.

Cermin asli, "aslinya darimana?", wilayah asli, betawi aslee..Sebenarnya apa yang membuat seseorang lebih asli daripada yang lain ?

Monday, December 22, 2008

Saturday, December 13, 2008

Saturday, October 25, 2008

Tipe Kepribadian : sejarah awal


Penggolongan kepribadian menjadi tipe-tipe tertentu sudah digunakan secara luas sejak masa Yunani kuno oleh para filsuf untuk mengetahui bagaimana manusia berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain dan bagaimana memodifikasinya. Sampai saat ini klasifikasi tipe kepribadian banyak berguna di ranah organisasi terutama pada tes-tes psikologi yang ingin mengidentifikasi model kepribadian seseorang, mengidentifikasi kelemahannya, kelebihannya, gaya kerja dan gaya komunikasi, serta bagaimana seseorang berperilaku dalam tim.

Memahami kepribadian seseorang atau diri sendiri merupakan cara untuk mengembangkan diri sendiri maupun orang lain dengan memahami apa saja kekuatan (strength) dan apa saja yang tiap orang butuhkan (needs). Pengetahuan tentang kepribadian juga membantu untuk bersikap terhadap orang yang berbeda tipe kepribadian serta mengetahui bagaimana orang lain memandang diri sendiri sehingga bisa terjallin komunikasi yang positif.

Richard Montgomery (2002) dalam bukunya “People Patterns - A Modern Guide to the Four Temperamentsmenuturkan penggolongan tipe kepribadian dapat ditelusuri sejak jaman Yunani Kuno, tepatnya oleh Ezekiel (590 SM) yang menggolongkan sifat manusia sebagai empat tipe. Tipe ini dapat dibandingkan dengan pembagian empat tipe kepribadian (Four Temperaments/Four Humours) yang digolongkan oleh “Bapak Kedokteran” Hippocrates (460-377 SM). Keduanya merupakan sumber-sumber tertua yang ditemukan kaitannya dengan penyusunan profil kepribadian manusia. Secara umum manuskrip-manuskrip kuno yang lebih tua dapat ditemukan sejak 5000 tahun yang lalu dalam tradisi Mesir dan Mesopotamia mengenai elemen-elemen dasar kehidupan yaitu Air, Udara, Tanah, dan Api kaitannya dengan pengembangan ilmu pengobatan pada masa itu. Yang kemudian diadaptasi oleh budaya Yunani Kuno sejak 2500 tahun yang lalu dan yang terakhir disebut merupakan fondasi keilmuan barat yang masih berkembang hingga saat ini.

Empat tipe kepribadian / temperamen manusia :

Ezekiel (590 SM)

  • Lion (singa) : Berani, tegas, hebat
  • Ox (sapi jantan) : Kokoh, kuat, kekar
  • Man (manusia) : Ramah, penyayang, humanis
  • Eagle (elang) : Visioner, berwawasan luas

Hippocrates (370 SM)
  • Blood (darah) : Gembira, periang (cheerful)
  • Black Bile (empedu hitam) : Suram, muram (somber)
  • Yellow Bile (empedu kuning) : Antusias, bersemangat, bergairah (enthusiastic)
  • Phlegm (lendir) : Tenang, kalem (calm)

Interpretasi dari Empat Temperamen (Four Temperament) ini yaitu darah, empedu hitam, empedu kuning dan lendir pada merupakan usaha “ilmiah” untuk menjelaskan bagaimana penyakit, yang sebelumnya dianggap kutukan dewa itu muncul dan bagaimana cara mengobatinya –tentu saja selain dengan memberikan sesaji kepada para dewa. Darah berkaitan erat dengan musibah, seorang prajurit akan paham bagaimana darah terkait dengan sakit dan penderitaan, begitu pula dengan lendir yang keluar ketika seseorang sedang sakit flu atau demam.

Sedangkan kemungkinan yang dimaksud dengan yellow/black bile disini adalah cairan dimuntahkan setelah seseorang mabuk meminum arak kuno. Sehingga apabila seseorang kemudian sakit namun tidak kunjung sembuh, maka dokter-dokter Yunani kuno ini akan berusaha “membantu” mengeluarkan elemen-elemen dasar tersebut dari dalam tubuh, dari sini salah satunya muncul terapi lintah yang dibiarkan menyedot darah kotor. Atau yang masih banyak dipraktekkan di negeri kita adalah praktek gurah, bekam yang mengeluarkan lendir, darah, atau cairan-cairan kotor lain dari dalam tubuh. Ide awal dari usaha-usaha itu yang diyakini oleh ahli kesehatan Yunani Kuno adalah untuk menyeimbangkan keempat elemen tadi didalam tubuh, apabila seseorang sakit maka itu karena terdapat ketidak seimbangan (imbalance) dari masing-masing elemen tersebut.

Selain sebagai usaha untuk menyembuhkan berbagai penyakit, empat elemen dasar ini juga erat kaitannya dengan sifat manusia. Karena keempat elemen dasar ini bisa menentukan hidup mati manusia pada awalnya, maka kemudian keberadaan elemen ini diyakini ada hubungannya juga dengan sifat manusia, keseimbangan elemen ini tidak sama antara orang satu dengan yang lain, seseorang mungkin dominan elemen Phlegm daripada Blood-nya menunjukkan kecenderungan kepribadian yang tenang, kalem, tidak ekspresif. Begitu pula dengan kombinasi yang lain juga menunjukkan kepribadian atau sifat yang spesifik dari seseorang.

Sunday, October 12, 2008

Kegagalan Psikotest


(vas bunga Rubin)

Apabila diamati saat ini di setiap toko-toko buku besar maupun kecil bahkan di lapak-lapak penjual buku di pinggir jalan terdapat buku psikotes dengan berbagai judul yang sensasional dan bombastis. Tidak hanya “Panduan Psikotest bagi pemula”, tapi judul-judul seperti “Sukses psikotes dalam 30 menit”, “Cara cepat Lolos CPNS”, “Membongkar rahasia psikotes !” banyak bermunculan dari berbagai penerbit baik penerbit besar maupun penerbit kecil. Fenomena ini muncul karena setiap seleksi dalam dunia kerja mesti melalui proses psikotes. Meskipun pemaknaan mengenai psikotes bisa jadi berbeda-beda namun satu hal yang pasti yang diyakini oleh hampir semua pencari kerja adalah, untuk bisa mendapatkan pekerjaan harus mampu mengerjakan psikotes dengan “benar” sehingga bisa lolos.
Simak saja pernyataan dari seseorang mengirimkan e-mail kepada biro konsultasi Sumber Daya Manusia (SDM) terkemuka di Jakarta :

“Saya lulus dengan ip yg cukup tinggi (3.56) dari univ terkemuka bidang ilmu TI tapi saya punya masalah dalam psikotes dari dulu saya punya masalah dalam mengerjakan psikotes karena emang kemampuan numerik saya rendah apakah ada tips khusus untuk mempertinggi nilai psikotes ?”

Ternyata Indeks Prestasi (IP) kuliah di atas 3.5 yang berarti orang ini lulus cum laude dari sebuah universitas terkemuka di bidang Teknologi Informasi (TI) pun tidak menjamin yang bersangkutan bisa lolos psikotes. Simak pula pernyataan berikut ini yang ditujukan pada konsulatan yang sama.


“Saya sarjana ekonomi dengan CV yang lumayan,IPK lebih dari 3,2 dari Universitas negeri aktif diberbagai kegiatan… …begitu psikotes selalu gagal.jika di rinci dari tes awal pada psikotes, saya dapat menyelesaikan semuanya dengan benar, bahkan untuk tes numerik berupa penjumlahan angka ke bawah, saya lebih dari kertas yang diberikan. tapi kenapa bisa gagal? saya tau psikotes hanya mencari orang yang tepat untuk perusahaan yang tepat, tapi dasar penilaiannya apa? diisi semua dengan benar tetap gagal. sekarang saya mulai pesimis jika ada psikotes, lebih baik ada tes kompetensi atau presentasi dari pada psikotes. bank, manufaktur, dan industri lain sudah saya coba tapi gagal terus di psikotes.”

Begitu pula dengan seseorang yang nampaknya secara sosial dan organisasi dia aktif dan merasa bahwa jawaban dalam salah satu soal psikotesnya ia menjawab dengan benar bahkan melebihi harapan namun tetap menemui kegagalan dalam menembus psikotes. Nampaknya psikotes bagi sebagian orang masih menjadi momok dan merupakan batu sandungan dalam memperoleh pekerjaan.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh sebagian orang yang lain sebagai peluang usaha, bahwa kebutuhan masyarakat untuk mengenal psikotes itu sendiri cukup tinggi karena memang sebelumnya psikotes baik dalam cara penyampaiannya sampai dengan interpretasi hanya dikuasai oleh sebagian kecil orang saja khususnya dengan latar belakang keilmuan psikologi, merekapun diikat oleh peraturan kode etik untuk tidak seenaknya menyebarluaskan isi dan materi psikotes kepada khalayak umum.

Meskipun demikian tetap saja berbagai kursus dan buku yang menawarkan kemampuan untuk lolos psikotes secara instan tetap saja menjamur. Sedangkan di masyarakat umumnya beredar pendapat yang cukup beragam dari yang meragukan efektivitas psikotes itu sendiri sampai dengan yang menyadari penting dan perlunya psikotes itu dilakukan. Hal ini sangat lumrah terjadi di lapangan, dengan “dukungan” media yang juga menyebarluaskan berita-berita baik mengenai positif maupun negatif psikotes itu sendiri kemudian masyarakat menemukan pengertiannya sendiri tentang bagaimana menyikapi dan menghadapi psikotes.


Dalam Tempo Interaktif tanggal 1 Mei 2007 yang lalu diberitakan mengenai seorang polisi bernama Bripka Deni Bagus Haryono(23 tahun) anggota Unit Reserse Narkoba Polresta Surabaya Utara, sudah menembak kepala isterinya, Nova Puspita hingga koma. Peristiwa yang berlangsung pada Senin (30/4) malam itu terjadi di rumah mereka di Jl. Setro III/ 8A Tambaksari, Surabaya. Menurut keterangan beberapa sumber, kejadian itu dipicu oleh kecemburuan Nova setelah menemukan nomor yang tak ia kenal di telepon seluler suaminya. Nova kemudian mencoba menghubungi nomor tersebut namun tidak tersambung. Ibu yang baru tujuh bulan lalu melahirkan anak pertamanya itu menunduh suaminya telah berselingkuh dengan perempuan lain. Namun tuduhan itu dibantah oleh Deni. Keduanya lalu bertengkar hebat. Karena terus didesak agar mengakui perselingkuhannya, kemarahan Deni akhirnya memuncak. Dia mengambil pistol dan menembakkan ke hidung isterinya. Setelah tubuh Nova roboh, Deni buru-buru membawanya ke Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo.
Ironisnya adalah, belum lama sebelumnya Bripka Deni ini sudah dinyatakan lulus psikotes / tes psikologis untuk memegang senjata ! Memang semua jenis tes psikologi tidak mengatakan bahwa kemudian hasilnya 100% benar serta perlu diperhatikan juga siapa dan dengan kualifikasi apa pihak-pihak yang telah melaksanakan psikotes di lembaga kepolisian, tentunya banyak faktor lain yang tentu saja mempengaruhi keputusan Bripka Deni untuk kemudian tiba-tiba menembak istrinya.
Padahal semula psikotes untuk para penegak hukum ini sedang digalakkan kembali menyusul beberapa kasus penembakan yang sudah terjadi seperti anggota Provos Polres Semarang Briptu Hance Christian, juga terdapat sederet kasus lain. Seperti pada 8 Maret 2007 Briptu Rifai anggota Polres Bangkalan menembak istri, mertua, dan dua orang lainnya sebelum menghabisi nyawanya sendiri. Lalu ada juga anggota Poltabes Medan Iptu Oloan Hutasoit yang pada 24 Januari 2007 menembak sepasang pengantin dan menghabisi nyawanya sendiri (suara pembaruan, Maret 2007).


"Matangnya kepribadian seseorang tidak bisa hanya dilihat dari hasil seleksi awal psikologi. Meski saat tes psikologi di awal orang sudah menunjukkan kematangan pribadi, tetapi lingkungan kerja yang tidak sehat membuat kepribadiannya tidak berkembang,"


Demikian seperti dijelaskan Ketua Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Irmansyah.


Namun kejadian seperti ini tetap saja menunjukkan “kegagalan” psikotes karena alat inilah yang digunakan secara luas sebagai filter utama menangkap karakteristik dan kecenderungan kepribadian seseorang, dalam hal ini bagi anggota kepolisian yang memiliki hak untuk memegang senjata api dan tentu saja menimbulkan pertanyaan masyarakat umum mengenai perlu tidaknya sebuah psikotes diadakan.

Saturday, October 11, 2008




tombo ati iku ono limang perkoro

kaping pisan, moco Qur'an sa'maknane
kaping pindo, sholat wengi lakonono
kaping telu, wong kang sholeh kumpulono
kaping papat, wetengiro ingkang luwe
kaping limo, dzikir wengi ingkang suwe

salah akwijine sopo biso ngelakoni
insya Allah Gusti Pangeran ngijabahi

Friday, July 11, 2008

Level Of Evaluation


Ketika membahas soal tes, khususnya ujian sebagai evaluasi dan tolok ukur keberhasilan belajar dan mengajar ada teori kontemporer yang namanya Level Of Evaluation (LoE). Artinya kita melakukan evaluasi itu lingkupnya sampai dimana. Penjelasan singkatnya kira-kira seperti ini...

Level 1 --yang paling rendah-- artinya kita mengukur pelaksanaan evaluasi itu sendiri, misalnya pas akhir kuliah kita dibagiin kuisoner evaluasi itu baru LoE-1 karena yang diukur persepsi baik-buruk proses kuliah itu sendiri. Sedangkan tujuan utama dosen memberikan kuliah adalah memberikan materi yang bisa diserap oleh mahasiswa dan diaplikasikan. Jadi kayak kalau kita besok mau pergi ke pantai kita ngecek ban motor bocor nggak...entah besok jadi pergi atau nggak, yang penting motor beres dulu.


Level 2, seperti melakukan pretest-posttest. Di level ini kita menguji pemahaman testee (mahasiswa) mengenai materi yang diajarkan oleh tester (dosen) tepat setelah tester selesai memberikan materi. Jadi kalau kita besok mau pergi ke pantai, mesti tahu dulu jalan ke pantai..kalau level ini gagal bisa jadi kita malah mblasuk ke gunung.

Level 3, di level ini masih seperi pre-post test hanya diberi rentang waktu tertentu. Misalnya setelah kuliah satu semester trus diberikan ujian -- seperti pada umumnya ujian itu baru masuk LoE.3 -- karena kita dijejali materi dalam jangka waktu tertentu untuk kemudian diberikan tes (baca:ujicoba) apakah kita sebagai mahasiswa paham nggak dengan apa yang sudah dikuliahkan. Biasanya disinilah yang disebut classroom test dengan metode paper and pencil.
Sebagai catatan : soal tes yang sifatnya pilihan ganda, hafalan, atau soal lain yang sifatnya kuantitatif berhenti sampai level ini meski relatif lebih mudah mengukur validitas dan reliabilitasnya. Sedangkan soal yang sifatnya Essay, analitik, meski lebih sulit mengukur validitas dan reliabilitasnya bisa lanjut ke level 4. Kalau bicara dari sudut pandang filsafat, di level ini kita baru bicara masalah logika (benar-salah)

Level 4, disini kita masuk ke esensi kuliah itu sendiri. Yang diukur adalah bagaimana mahasiswa bisa mengaplikasikan apa yang didapatkan dari materi kuliah itu tadi. Misalnya mahasiswa fakultas "tata boga" jurusan "memasak nasi goreng". Disana mahasiswa diberikan mata kuliah tentang sejarah nasi goreng, macam-macam nasi goreng, bumbu nasi goreng, alat masak nasi goreng, cara efektif membuat nasi goreng, atau konteks nasi goreng dalam sosiologi masyarakat pedesaan, dll, dsb.
Di LoE.3 mahasiswa jurusan ini mesti menguasai seluruh materi tersebut itu, misalnya di dapat A di semua mata kuliah, orang ini tahu ternyata nasi goreng juga ada di pedalaman mongolia, dia tahu "penemu" nasi goreng, dia hafal alat-alat masak nasi goreng dari arang yang tepat hingga anglo yang standar untuk bikin nasi goreng terenak. Tapi apakah dia sudah bisa bikin sendiri nasi goreng yang bener enak dengan segala teori itu ? Belum tentu ! Begitu juga makanya mahasiswa berbeda dengan murid SMU yang cukup berhenti di LoE.3, setiap mahasiswa dituntut untuk mengaplikasikan segala macam segala teori ini dengan penelitian yang termanifestasi pada Skripsi/Tugas Akhir/Praktek Kerja Lapangan/dll. Disinilah mahasiswa jurusan nasi goreng tadi dituntut untuk melakukan Praktek Masak Nasi Goreng. Kalau bicara dari sudut pandang filsafat, di level ini kita masuk tataran estetika (enak-nggak enak, indah-jelek)

Level 5, pada level ini seseorang sudah tidak dipertanyakan lagi mengenai pemahaman dan aplikasi dia terhadap penguasaan materi baik secara teori maupun praktek. Yang dipertanyakan disini adalah apakah dia bisa menularkan ilmunya tersebut kepada orang lain atau tidak, karena ilmu yang tidak ditularkan tidak akan banyak gunanya. Soalnya dia sendiri tidak selamanya ada, dengan menularkan ilmunya (bisa dengan menulis, mengajar, dll) dia mengabadikan ilmunya dan bisa berguna bagi banyak orang.
Nah, di level ini kita sudah masuk tataran etika (baik-buruk), masuk tataran moral. Kenapa universitas didirikan ? supaya masyarakat melek ilmu dan bisa meningkatkan taraf hidupnya serta taraf hidup orang lain itu masalah moral. Jadi Lembaga universitas didirikan dengan tujuan yang ada kaitannya dengan moralitas, mestinya outputnya -- mahasiswa itu sendiri -- harus bisa membahasakan ilmunya dalam tataran etika dan moralitas pula !

Kehidupan itu amat sederhana. Kau lakukan sejumlah hal,
sebagian besar gagal sebagian lagi berjalan.
Leonardo da Vinci (Ilmuwan-seniman 1452-1519)

Saturday, June 14, 2008

Anggota FPI menyaru ?

Bicara soal susup-menyusup saya teringat siang tadisaya jumatan bareng Ryan (ex-PU) di perumahan PalemSemi KArawaci Tangerang, pengkhotbah Jumat (di masjidini biasanya orang HTI) tadi bicara soal kebebasanberagama di awal khotbahnya.. .tapi selang sekian puluhmenit kemudian di penghujung khotbah berbelok membahas nabi palsu yang ujung-ujungnya pengikut nabi palsu(tanpa menyebut aliran tertentu) mesti diperangi, diamencontohkan Abu Bakar yang memerangi dan membunuh pengikut nabi palsu sambil berapi-api.. ."Serem yo.."kata saya sama Ryan.

Saya jadi kasak-kusuk, meski tidak seberani Ulil Absar yang langsung aja cabut dari masjid kalaupengkhotbahnya nglantur ga karuan...atau kita jugatidak bisa berharap pengkhotbah menyediakan sesitanya-jawab kayak di paramadina

Trus saya bayangin kalau orang macam demikian yangjadi pemimpin negeri ini, atau presiden, atau apalah.Pasti akan repot sekali memerangi orang-orang yangnggak se-keyakinan sama dia..karena orangnya ribuanmaka akan dibentuk semacam Gestapo gitu, trusorang-orang "non-Islam murni" akan digiring keghetto-ghetto, diberi tanda di dadanya macam stardavid. trus dari stasiun tugu, lempuyangan, prambanan,sentolo, wates, akan berduyun-duyun orang-orang yanglusuh. Karena cukup banyak, maka ghetto akan dibangun didataran tinggi wonogiri, di pegunungan sewu yangberkapur-kapur itu, atau di hutan jati ke arah madiun,trus para penjaganya berjubah dan bersorban putihdengan tanda segitiga di lengannya dan bertampangseram sekali-sekali menggebuk orang-orang yang baruturun dari kereta maut itu ke kamp konsentrasi.bedanya dengan Auswitch, kamp tersebut ada mesjidnya!mungkin seperti di gontor putri 1-2-3 di daerah ngawiitu. Dan-tentu saja ada cerobong besar untuk membakarmereka yang tidak "suci" tapi karena orang kita agakmales bikin yang gede, jadi mungkin seperti cerobong2untuk nggeneni batu-bata seperti di daerah Nggodeanitu..nah lubang-lubang disekitarnya bisa untuklangsung mengubur mereka yang tidak sempat jadi abu.sementara itu mereka yang "menyerah" atau yang bisadisucikan kembali, akan ditatar di ruang-ruang sempitkayak SD di Mantingan. siang malam mereka dicuci otakdan yang paling berhasil adalah mereka yang tergabungdalam skuad bunuh diri yang disiapkan berangkat denganlilitan bom menggunakan perahu-perahu bercadik untukmati konyol di Manila, Pattaya atau Orchad Road yangsarang NEkolim, sarang maksiat dan antek amerika itu...

Friday, May 2, 2008

Kisah Tentang "Nyata"


Terkadang dalam situasi tertentu kita merasa "jauh" atau "sepi" padahal ada banyak orang disekeliling kita. Apakah mereka yang ada disekeliling kita itu "nyata" ? tapi kenapa kadang-kadang orang "terlepas" dari kenyataan. Sebenarnya apa yang kita sebut "nyata" ini ?


Mari kita lihat cara kerja kamera. Lho kok kamera ? Sebagian orang menganggap nyata berarti bisa dilihat, atau terlihat oleh mata. Mata bisa melihat kalau ada cahaya, yang ditangkap oleh retina mata adalah pantulan cahaya dari objek yang ada dalam jangkauan penglihatan. Begitu pula kamera adalah kotak penangkap cahaya, di dalam kamera ada yang namanya film sebuah materi yang sangat peka dengan cahaya. Kita bicara bagaimana awal mula sebuah citra/objek bisa "ditangkap" oleh materi bernama film ini. Cahaya yang tertangkap dalam film memiliki intensitas yang berbeda-beda, dari perbedaan intensitas itulah citra/objek bisa terbentuk. Gambar bunga bisa berbentuk bunga karena cahaya yang memantul dari mahkota, kelopak, batang berbeda. Warna bisa diketahui karena perbedaan panjang gelombang cahaya yang memantul. Cara kerja ini persis dengan cara kerja mata kita, jadi tanpa ada cahaya misalnya malam-malam pas hujan deras mati lampu, praktis keadaan menjadi gelap total dan kita tidak bisa melihat apapun.


Cahaya adalah materi yang merambat, teori mengatakan kecepatan cahaya itu 300.000 km/detik. Dalam ilmu astronomi, pernah saya dengar ada bintang yang jauhnya dari bumi 10 tahun cahaya, artinya cahaya perlu waktu 10 tahun dari bintang itu menuju ke bumi sehingga pantulannya bisa kita lihat memakai teleskop. Kalau kita hitung pakai kilometer berarti 300.000 x 60 (detik) x 60 (menit) x 24 (jam) x 365 (hari) x 10 (tahun) = 94.608.000.000.000 km jaraknya dari bumi atau 94,6 trilyun km. Sehingga --kalau kita juga belajar teori pergeseran bintang-- bintang yang terlihat oleh para ahli astronomi dengan teleskop itu adalah bintang 10 tahun yang lalu ! Jadi kita melihat masa lalu, dan posisi bintang itu "sekarang" sudah bergeser sekian derajat.


Sekarang kalau dianalogikan di lingkungan sekitar kita, misalnya kita melihat teman kita yang duduk 1 meter di depan kita. kalau cahaya itu kecepatannya 300.000 km/detik berarti untuk mencapai jarak 1 km cahaya perlu waktu 1/300.000 detik, kalau 1 km itu 1000 meter jadi cahaya perlu waktu 1/300.000.000 detik untuk mencapai jarak 1 meter. Jadi seseorang yang ada 1 meter di depan kita itu yang kita lihat ada orang 1/300.000.000 detik sebelumnya, dan kita melihat masa lalu ! Sampai pada titik ini beberapa orang mulai menjadi skeptis, benarkah semua yang kita lihat itu nyata ?


Beberapa orang yang lain akan bilang kita masih bisa merabanya, jadi masih bisa dibilang "nyata", kemudian sebagian yang lain akan bilang kita masih bisa mendengarnya, menciumnya, merasakan aromanya. Tapi bagaimana kalau seandainya semua yang kita sebut indera itu mati total ? Manusia yang buta, tuli, tidak bisa mencium, dan lidahnya mati rasa namun dia bisa berjalan dan berbicara. Sejarah sudah membuktikan sebagian besar perjuangan manusia, perang, makan, bersosialisasi, mencipta, berkomunikasi, membentuk jejaring sosial, budaya, semua yang kita sebut dengan "hidup" adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan indera. Segala sesuatu yang diperlukan untuk bertahan hidup di bumi, padahal rata-rata hidup manusia hanya 75 tahun, paling banter 100 tahun. Sebuah masa yang sangat singkat bila dibandingkan dengan bumi sendiri, tempat manusia hidup. Namun sejarah juga mengatakan bahwa ada segelintir manusia yang mengetahui rahasia "kenyataan". Mereka bilang ada sesuatu yang "nyata" dalam diri manusia, yang sering diabaikan demi pemenuhan kebutuhan inderawi, mereka menyebutnya Jiwa/Soul/Psyche/Qalbu dan mereka menganggap Jiwa ini-lah yang mesti diperhatikan sebagai sesuatu yang "hidup" sebagai sesuatu yang "nyata" itu sendiri (ada filsuf Jerman yang menyebutnya "an sich" atau "yang sebenarnya"). Konsep ini bisa menjelaskan rasa "sepi" yang dialami oleh seseorang meski di tengah keramaian


Banyak orang yang memang menyadari bahwa Jiwa itu abadi, orang-orang yang beragama samawi (Yahudi, Kristen, Islam) menyebut-nyebut tentang kehidupan "Jiwa" di surga dan neraka sesudah jasad/badan mati. Orang yang beragama Budha menjelaskan adanya reinkarnasi, jiwa yang moksa pada agama hindu, bahkan orang Toraja yang memiliki keyakinan animisme/dinamisme meyakini alam lain sesudah mati sehingga jasad orang Toraja yang mati diberikan "rumah" di lereng-lereng bukit cadas berikut pakaian dan perhiasannya. Jadi kesadaran akan Jiwa ini merupakan sesuatu yang universal, dan Tuhan "memfasilitasi" kesadaran ini dengan wahyu yang dikirimkan-Nya pada manusia lewat agama. Sedangkan dinamika, dialektika Jiwa ini sampai saat ini pun masih menjadi perdebatan bagi yang berusaha menjelaskannya, bagi yang berusaha menafsirkannya. Allah mengatakan kedekatan diri-Nya dengan manusia bahwa "Tidak lebih jauh dari uret lehermu sendiri" dan ketika Al-Hallaj mengatakan "akulah Kebenaran" atau Syekh Siti Djenar bermanunggal dengan Gusti dan merekapun dibakar, disembelih. Ada pepatah yang mengatakan Allah tidak bisa dijelaskan dengan akal manusia, ada sebuah kisah tentang seseorang yang skeptis tentang Tuhan...

"Katakan kepada saya," kata seorang ateis, "apakah Allah itu sungguh-sungguh ada?"


Jawab Sang Guru, "Jika kamu menginginkan saya sungguh-sungguh jujur, saya tidak akan menjawab."


Para murid penasaran mengapa ia tidak menjawab.


"Karena pertanyaannya tidak dapat dijawab," kata Sang Guru.


"Jadi, Guru juga ateis?"


"Tentu saja tidak. Orang ateis membuat kesalahan karena menyangkal kenyataan yang tidak mungkin dijelaskan."


Setelah diam sejenak, ia menambahkan, "Dan orang teis membuat kesalahan karena mencoba menjelaskannya."

Friday, April 18, 2008

Senyum

Walau dari kejauhan
Engkau tersenyum
Begitu anggun

Penuh kedamaian
membawa hangatnya cinta

Ketika gundah
Senyum memberikan kasih sayang
ketika haus
Senyum membawa air kesejukan

Walau dari kejauhan
kasih sayang Mu begitu erat melekat
Terukir dalam jiwa
Aku rindu
Untuk hanya bertemu
Terlebih bisa mencium tanganMu

Senyum Mu
Bagaikan matahari yang menyinari disiang hari
menyinari hati
Bagaikan bulan purnama, menyinari kegelapan di malam hari

Siang malam
Slalu ke sebut nama Mu
Aku rindu
Sungguh aku rindu ingin bertemu

Engkau adalah cahaya pelita hidup
Aku rindu
Akan senyum Mu
akhir hayat ingin aku bertemu

Wednesday, March 19, 2008

Filsafat dan Ilmu


Konon ada seseorang yang bertanya kepada ahli filsafat “Bagaimana agar saya dapat memperoleh pengetahuan yang benar ?”. Si ahli filsafat menjawab “Ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu”. Menurut filsuf ini ada 4 jenis manusia dilihat dari pengetahuannya :

Ada orang yang tahu di tahunya

Ada orang yang tahu di tidaktahunya

Ada orang yang tidak tahu di tahunya

Ada orang yang tidak tahu di tidaktahunya.

Jadi pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu, kepastian dimulai dari rasa-ragu-ragu, dan dari sanalah filsafat-induk pengetahuan mengakomodasi kedua-duanya. Literatur tentang filsafat sebagai induk segala ilmu bisa ditarik pada masa keemasan Yunani kuno, dimana kondisi masyarakat tidak banyak bergejolak dan kebutuhan dasar setiap orang terpenuhi dalam masyarakat seperti ini orang mulai bertanya-tanya mengenai hakikat dirinya. Ada filsuf yang mengatakan segala sesuatunya berasal dari air, dari udara dan sebagainya (Baca Dunia Sophie atau karya M.Hatta “Alam Pikiran Yunani” ).

Perlu diketahui bahwa pengertian ilmu sebagai bagian dari pengetahuan disini kita batasi sebagai “proses memperoleh pengetahuan, atau pengetahuan terorganisasi yang diperoleh lewat proses tersebut. Proses keilmuan adalah cara memperoleh pengetahuan secara sistematis tentang suatu sistem. Perolehan sistematis ini umumnya berupa metode ilmiah, dan sistem tersebut umumnya adalah alam semesta. Dalam pengertian ini, ilmu sering disebut sebagai sains.

Pengertian ini kita bedakan dengan pengetahuan secara umum, tentu saja orang-orang prasejarah di Sangiran juga sudah punya “ilmu” misalnya bagaimana mereka membuat alat-alat berburu dari batu dan alat bantu serbaguna lain atau bagaimana orang Mesir kuno mempelajari astronomi dan arsitektur, atau orang Sumeria yang mempelajari ilmu linguistic. Namun mereka semua ini tidak mempelajari pengetahuan tadi sebagai ilmu, mereka mempelajarinya dalam konteks yang lain. Pithecantropus Erectus menguasai musim berburu berkaitan dengan perut mereka, karena mereka lapar, mereka butuh makan lalu mereka mencari cara bagaimana bisa makan daging dan mereka tentu saja tidak menerbitkan buku “Cara membuat tombak dengan baik dan benar”. Orang Mesir kuno membangun Piramid bukan karena mereka nyentrik kemudian menjajal keahlian arsitektur mereka, tapi ini berkaitan dengan konteks religious bahwa Raja mereka atau Firaun yang mati adalah titisan Dewa Matahari (Ra atau Re) yang memerlukan sebuah “mesin” raksasa untuk kembali ke langit dan para arsitek kuno Mesir pun “terpaksa” belajar untuk mentransfer keyakinan tersebut dalam wujud yang nyata, jadilah bangunan gigantis berwujud pyramid. Sedang rumah mereka tetap saja beratap ilalang dan berdinding lumpur kering, mereka tidak pernah berpikir membuat apartemen atau pencakar langit-meski mungkin mereka bisa, karena memang tidak ada relevansinya dengan keyakinan mereka.

Ketika kebutuhan akan rasa lapar sudah terpenuhi, begitu pula dengan kebutuhan-kebutuhan dasar yang lain seperti rasa aman, dan yang lain-lain bila kita ikuti hierarki kebutuhan dari Maslow. Maka manusia pun akan mulai bertanya akan hakikat dirinya. Seseorang yang lapar tentu tidak akan bersusah payah untuk memahami teori kuantum, dia lebih suka untuk mencari tempat makan yang enak. Sejarah “Rasa ingin tahu” ini pun bisa kita tarik ke belakang ketika Ibrahim mencari Tuhan, atau dalam bahasa lainnya mencari asal-usul keberadaan dirinya. Bahwa ada sesuatu “kekuatan” lain di luar dirinya yang membuat alam dan segala isi kehidupannya berjalan. Tentu saja pada suatu titik seseorang akan bertanya “Kenapa aku ada disini?” seperti seorang anak yang selalu bertanya tentang hal-hal baru yang ada disekitarnya. Bahwa kemudian Ibrahim menolak api, matahari, bulan, dan kemudian menemukan sosok Tuhan dalam gambarannya itu soal lain, pada kenyataannya di sebagian besar sudut dunia yang lain orang berhenti pada api dan kemudian mereka sembah matahari, muncul Dewa Matahari atau dalam bentuk yang lebih kompleks muncul hierarki Dewa-Dewi, Batara Guru, Dewi Kwan Im, dan lain-lain. Mereka menemukan sosok yang mereka bayangkan melebihi kekuatan dirinya sebagai manusia. Ketika mereka menemukan “jawaban” itu, maka segala sesuatu yang ada disekitar mereka akan mereka sangkut pautkan dengan tuhan mereka masing-masing. Dalam pertanian di Jawa ada Dewi Sri atau Dewi kesuburan, artinya segala macam ilmu yang ada kaitannya dengan menggarap lahan kemudian berhenti berkembang ketika si bapak Tani ketemu Dewi Sri, karena banyak sedikitnya panen pasti ada hubungannya juga dengan banyak sedikitnya sesajen yang dipersembahkan pada Dewi Sri.

Untuk memahami setiap cabang ilmu seperti ilmu pendidikan, ilmu budaya, atau ilmu psikologi tentu kita harus mengetahui asal-usul ilmu tersebut dan dari sudut pandang apa saja kita akan melihatnya supaya kita mengetahui kerangka (frame) yang ingin kita telaah. Seperti apabila kita ingin tahu hal-ikhwal tentang kodok maka kita tanyakan dulu, “Apa saja ciri-ciri kodok?”, “Pada ekosistem apa saja kodok hidup?”, “Bagaimana kodok mencari makan?”, “Apa manfaat kodok bagi manusia?”, dan lain-lain. Dengan pertanyaan-pertanyaan ini kita berfilsafat. Filsafat yang memberikan pondasi bagi setiap ilmu, layaknya pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri, disinilah peran filsafat.


Friday, February 15, 2008

DAN TUHAN PUN TERSENYUM

Don't take your organs to heaven
Heaven knows we need them here.

Pernahkah Tuhan tersenyum, atau melucu? Dalam kitab suci tak
saya temukan dua hal itu. Begitu juga dalam hadis nabi.
Pemahaman tekstual saya atas agama terbatas. Pengajian saya
masih randah, kata orang Minang. Tapi kalau soalnya cuma
"adakah khatib yang melucu, atau marah," saya punya data.

Di tahun 1978, seorang khatib melucu di masjid UI
Rawamangun. Akibatnya, jemaah yang tadinya sudah liyep-liyep
jadi melek penuh. Mereka menyimak pesan Jumat, sambil
senyum. Tapi khatib ini tak cuma menghasilkan senyum itu. Ia
diganyang oleh khatib yang naik mimbar Jumat berikutnya.

"Agama bukan barang lucu," semburnya. "Dan tak perlu dibikin
lelucon. Mimbar Jumat bukan arena humor. Karena itu, sengaja
melucu dalam khotbah dilarang ..."

Vonis jatuh. Marah khatib kita ini. Dan saya mencatat
"tambahan" larangan satu lagi. Sebelum itu demonstrasi
mahasiswa sudah dilarang "yang berwajib". Senat dan Dewan
dibekukan. Milik mahasiswa yang tinggal satu itu, "melucu
buat mengejek diri sendiri", akhirnya dilarang juga.

Kita memang perlu norma. Tapi juga perlu kelonggaran. Maka,
saya khawatir kalau menguap di masjid bakal dilarang. Siapa
tahu, di rumah Allah hal itu tak sopan. Buat jemaah yang
suka menguap macam saya, karena jarang setuju dengan isi
khotbah, belum adanya larangan itu melegakan.

Saya dengar Komar dikritik banyak pihak. Soalnya, dalam
ceramah agamanya ia melucu. Tapi Komar punya alasan sahih.
Ia, konon, sering mengamati sekitar. Di kampungnya, banyak
anak muda tak tertarik pada ceramah agama.

"Mengapa?" tanya Pak Haji Komar.

"Karena isinya cuma sejumlah ancaman neraka."

Wah ... Itu sebabnya ia, yang memang pelawak, memberi warna
humor dalam ceramahnya. Dan remaja pun pada hadir.

Saya suka sufisme. Di sana Tuhan dilukiskan serba ramah. Dan
bukannya marah melulu macam gambaran kita. A'u dibaca angu,
tidak bisa. Dzubi jadi dubi, tidak boleh. Khotbah lucu,
jangan. Lho? Bukankah alam ini pun "khotbah" Tuhan? Langit
selebar itu tanpa tiang, bulan bergayut tanpa cantelan dan
aman, apa bukan "khotbah" maha jenaka? Apa salahnya humor
dalam agama?

Di tahun 1960-an, Marhaen ingin hidup mati di belakang Bung
Karno. Dalam humor, saya cukup di belakang Bung Komar.
Artinya, bagi saya, humor agama bikin sehat iman. Dus, tidak
haram jadah.

Di Universitas Monash saya temukan striker: "Jangan bawa
organmu ke surga. Orang surga sudah tahu kita lebih
memerlukannya di sini". Imbauan ini bukan dari Gereja,
melainkan dari koperasi kredit. Intinya: kita diajak
berkoperasi. Dengan itu kita santuni kaum duafa, kaum lemah.

Ini pun "khotbah" lucu. Dalam kisah sufi ada disebut cerita
seorang gaek penyembah patung. Ia menyembah tanpa pamrih.
Tapi di usia ke-70 ia punya kebutuhan penting. Doa pun
diajukan. Sayang, patung itu cuma diam. Kakek kecewa. Ia
minta pada Allah. Dan ajaib: dikabulkan.

Bukan urusan dia bila masalah kemudian timbul, sebab
Allah-lah, bukan dia, yang diprotes oleh para malaikat.

"Mengapa ya, Allah, Kaukabulkan doa si kakek? Lupakah Kau ia
penyembah patung? Bukankah ia kafir yang nyata?"

Allah senyum. "Betul," jawabnya, "Tapi kalau bukan Aku,
siapa akan mengabulkan doanya? Kalau Aku pun diam, lalu apa
bedanya Aku dengan patung?"

Siang malam aku pun berdoa, semoga humor kaum sufi ini tak
dilarang.

---------------
Mohammad Sobary, Tempo 27 Oktober 1990

Sunday, January 20, 2008

God Put Smile Upon Your Face

:)

God put smile upon your face
When you were born
God put smile upon your face
When you are glad
God put smile upon your face
When you are sad
God put smile upon your face
When you are betrayed
God put smile upon your face
When somebody look after
God put smile upon your face
Only if you want smiling