" Hari ini Anda adalah orang yang sama dengan Anda di lima tahun mendatang, kecuali dua hal : orang-orang di sekeliling Anda dan buku-buku yang Anda baca..."

Tuesday, October 16, 2007




Sejak Gutenberg menciptakan mesin cetak pertamanya, maka segala rupa ilmu yang sebelumnya telah dikumpulkan, dicatat, ditulis, untuk kemudian diterjemahkan oleh para rahib Ordo Santo Benedictus di biara-biara batu yang sumpek dan penuh dengan manuskrip dapat diterbitkan secara massal dan mulai menyebar ke seantero Eropa, buku-buku tebal inilah yang ditelan oleh pemikir-pemikir yang menciptakan gagasan-gagasan besar seperti demokrasi, ilmu pengetahuan, sosialisme, nasionalisme, filsafat. Kerjasama tidak langsung ini bak sebuah labirin raksasa perkembangan ilmu pengetahuan yang mengantar bangsa kulit putih dalam setiap penjelajahan, dalam setiap penaklukan dan membuat mereka sebagai pemenang tongkat estafet kekuasaan di bumi hingga kini, setelah surutnya zaman keemasan para khalifah.



Semua itu berkat kubus-kubus logam yang sedikit lebih besar dari dadu, dengan kejeniusannya Gutenberg mengukir huruf latin dalam kubus-kubus tersebut untuk kemudian disusun dan jadilah mesin cetak purba yang mampu menggantikan proses penerbitan sebuah buku yang bisa memakan waktu berbulan bahkan bertahun-tahun dengan ditulis tangan menjadi ratusan bahkan ribuan buku dalam hitungan hari. Sebuah embrio teknologi cetak massal yang mengabadikan kisah-kisah Syshipus, pemikiran Plato, perjalanan Marcopolo, hingga ilmu pengetahuan peradaban Islam yang tadinya tersimpan rapi di perpustakaan Baghdad.

Satu kata kunci, budaya literer. Tersebarnya budaya tulis telah mengubah sebuah peradaban dan mengantarkannya kepada pencerahan,renaisanss semua segi kehidupan. Untuk kemudian sedikit demi sedikit, namun pasti melahap semua khazanah budaya yang ada di bumi dalam cengkeraman global (baca:westernisasi). Sebuah penyeragaman yang tidak disadari (unsconscious).

Sementara pada abad 5 M di sudut bumi yang lain, ketika Eropa masih bergelut dengan kegelapan (dark age) dan para tuan tanah hidup di kastil-kastil kayu yang rapuh yang dipagari dengan palisade wall (tonggak-tonggak kayu runcing), sebuah saluran irigasi sepanjang 11 km sedang dibangun dan diberi nama Gomati selama 21 hari dipimpin oleh seorang raja bernama Purnawarman. Dengan sistem penanggalan yang rumit prosesi religius berupa pengorbanan 1000 ekor sapi sekaligus kegiatan sosial ini dicatat dalam sebuah batu prasasti dengan huruf Pallawa bahasa Sansekerta. Sekian tahun sebelumnya di seberang kerajaan tersebut sebuah upacara kurban juga dicatat dalam huruf Pallawa pada tonggak-tonggak batu. Tujuh buah Yupa yang menceritakan kegiatan upacara Syiwa dipimpin oleh Sang Mulawarman dari kerajaan Kutai. Kegiatan catat-mencatat ternyata sudah setua 16 abad ada di Nusantara. Meski terbatas pada prosesi keagamaan dan dituliskan pada batu sebagai prasasti, mungkin juga daun lontar.

Namun tidak seperti Kaisar Meiji yang dengan cepat menyadari ketertinggalannya lalu segera mengirimkan putra-putra terbaiknya untuk menyerap ilmu di Eropa. Raja-raja Singasari hingga Mataram justru berlumur darah dan saling bunuh satu sama lain, mewarisi kutukan tujuh turunan, bahkan lebih dari keris Empu Gandring yang digunakan Ken Arok –Sang Bapak Raja-raja untuk melakukan kudeta merebut kekuasaan Tunggul Ametung dengan penuh kelicikan dan rekayasa. Hingga ratusan tahun kemudian kelicikan yang sama terjadi kembali dilakukan oleh Panembahan Senapati, penguasa Mataram menindas dan membantai penduduk Mangir, sebuah simbol oposisi yang tidak mau begitu saja tunduk pada kekuasaan absolut sampai pembantaian rakyat kecil yang dituduh komunis oleh kekuasaan Orde Baru, dan masih banyak lagi kisah mengenai darah yang tercecer di bumi Nusantara.

Mereka melupakan aksara Pallawa dan lebih suka menggunakan bahasa tutur untuk menceritakan kisah-kisah perang dan cerita-cerita takhyul tentang buto ijo atau makhluk halus dan kawan-kawannya. Epos Mahabarata dan Ramayana yang berlatar belakang sejarah dicomot mentah-mentah dari India dan berubah menjadi kisah dewa-dewi yang hidup di gunung-gunung, merapi, semeru dan hanya berkutat di Jawa dan sekitarnya. Lokalitas dan budaya dongeng merupakan ramuan yang tepat untuk mengurung intelektualitas bangsa imigran dari Indocina ini, yang dengan mudah dapat dikalahkan dan dihancurkan oleh meriam dari kapal-kapal ekspedisi Vasco Da Gama. Menjadi bangsa yang berkepribadian otoriter (otoritatian personality) dan berpikiran pendek seolah semua hal bisa diselesaikan dengan menghunus keris.

Maka alangkah jahatnya bangsa ini bila masih saja melupakan huruf Pallawa sebagai simbol kebangkitan budaya literer, yang kemudian juga dipelajari di universitas Nalanda, sebuah perguruan tinggi pertama di kepulauan ini pada masa Sriwijaya.

Goreskan penamu sekarang juga ! Ramaikan ketukan tuts keyboard detik ini juga !
Menuju kebangkitan Nusantara !!





1 comment:

  1. Bon, baca Jawa Pos Minggu 9 Desember 2007, halaman BUKU, rubrik Di Balik Buku. Penulisnya mengaku ngambil referensi tulisan di blog-mu iki, tapi kok kayaknya terlalu banyak menjiplak ya. Sampe2 soal meriam Vasco da Gama tekan Universitas Nalanda. Wagu tenan. Mending kowe nulis di Jawa Pos lah Bond.

    ReplyDelete

komentar disini bro!