" Hari ini Anda adalah orang yang sama dengan Anda di lima tahun mendatang, kecuali dua hal : orang-orang di sekeliling Anda dan buku-buku yang Anda baca..."

Tuesday, October 23, 2007

(Antoine de Saint-Exupery)

To be a man is... to be responsible. It is to feel shame at the sight of what seems to be unmerited misery. It is to take pride in a victory won by one's comrades. It is to feel, when setting one's stone, that one is contributing to the building of the world.

Friday, October 19, 2007

Damai Di Hati Damai Di Bumi Anak Negeri



" Jangan tumpahkan darah, sebab darah yang terpercik tak akan tertidur. “

Demikian pesan Salahuddin Al-Ayyubi ditujukan kepada anaknya Az-Zahir menjelang wafatnya. Pemimpin pasukan Islam ini juga dikenal dengan nama Saladin. Pria ini, digambarkan Ridley Scott dalam filmnya Kingdom of Heaven berperawakan kecil dengan muka sempit dan berjanggut panjang namun memiliki mata yang teduh. Ketika pasukan Salib menguasai Jerusalem pada tahun 1099 ribuan orang muslim dibantai dan pengikut Yahudi dibakar, sebaliknya ketika ia dan pasukannya berada di ujung pertempuran merebut Jarusalem pada tahun 1187 yang dilakukannya adalah menerima perjanjian damai dari sisa-sisa pasukan Salib yang sudah compang-camping, mereka dibebaskan, tanpa dendam. Orang ini juga yang dalam perang salib berikutnya ketika kota suci itu kembali diserang oleh pasukan Kristen kemudian menghentikan pertempuran saat tahu pemimpin Kristen, Raja Richard Berhati SInga sakit dan mengirimkan dokter beserta buah-buahan segar untuk sang pemimpin musuh. Untuk kemudian mereka menandatangani perdamaian, dan sampai sekarang masih tergambar dalam film Hollywood sekalipun bahwa mereka yang orang barat pun takjub bagaimana Islam bisa melahirkan orang sebaik itu.

Tapi adakah mereka melihat itu sekarang ? Ketika wajah Islam begitu garang, bengis, berlumuran darah. Ketika fatwa dijatuhkan kemudian bom diledakkan, yang terjadi adalah sebuah labirin kekerasan yang tidak berujung seakan mengamini pesan Saladin “ darah yang terpercik tak akan tertidur..” dan benar adanya, beberapa waktu setelah teror ditegakkan. Orang itu, George W. Bush yang barangkali merasa dirinya Raja Richard mendeklarasikan perang dengan apa yang disebutnya Axis of Evil, dengan teror tak berkesudahan sehingga detik ini darah masih terpercik di Irak, di Afghanistan. Pesan teror itu kemudian dibalas lagi dengan teror pula, bom di London, di Madrid, di Bali, di Jakarta. Seakan sejarah tak pernah mampir di bangku-bangku sekolah para tukang teror ini bahwa tidak pernah ada dalam kisah manapun, kekerasan yang bisa diakhiri dengan kekerasan yang lain.

Ketika Ramadhan kembali datang untuk kesekian kalinya, selalu ada sebuah harapan untuk mengibarkan bendera perdamaian dimana orang hidup tanpa takut. Namun sayup-sayup masih terdengar berita-berita kekerasan, sweeping, yang dilakukan oleh orang-orang dengan jubah dan kopiah putih. Seperti pengumuman bahwa Islam akan datang dengan pentungan dan segera akan mengobrak-abrik warung anda kalau tidak tutup di siang hari. Bukan sejarah yang mampir di dalam pikiran dan benak mereka, namun seruan-seruan untuk berperang, untuk membalas, untuk menegakkan “keyakinan”. Barangkali dalam bayangan mereka ketika lapak-lapak itu dihancurkan, ketika pedagang kecil itu tak berdaya dipukuli ada malaikat di belakang mereka yang memberi semangat. Mereka menciptakan ketaatan dengan konsep ketakutan. Persis dengan konsep yang diciptakan Oberfuhrer Eric Koch, pemimpin pasukan pendudukan Jerman di Kiev, Ukraina pada tahun 1941. Mereka, orang Ukraina yang dipandang manusia kelas 2 (herrenmench) hanya akan taat bila mereka takut. Hasilnya adalah sebuah teror dan pembantaian yang mengerikan.

Salah satu pesan Ramadhan adalah menahan nafsu, tentu saja ini termasuk nafsu amarah. Kita selalu tidur malam untuk beribadah dan kemudian bangun pagi untuk makan sahur, namun lepas shubuh yang tertinggal dalam pesan puasa adalah tidak makan dan minum selebihnya kita tinggalkan sambil lalu, tawuran jalan terus, perebutan lahan terjadi kembali, dan masih bertindak sewenang-wenang pada “mereka” yang bukan “kita”. Tentu saja semua kegiatan ini selalu bergandengan dengan amarah dan kekerasan. Semangat untuk berdamai sudah ditinggalkan dalam wajah yang murung dan sedih. Seperti wajah Ali bin Abi Thalib yang menunduk sedih, ketika utusan damai yang ia kirimkan, seorang pemuda Kufah yang sukarela berjalan kehadapan pasukan Aisyah dengan mengacungkan Al-Quran di tangan kanannya sebagai tanda perdamaian ditebas lehernya. Ali mengucapkan do'a untuknya, sementara air matanya deras membasahi wajahnya. "Sampai juga saatnya kita harus memerangi mereka. Tetapi aku nasihatkan kepada kalian, janganlah kalian memulai menyerang mereka. Jika kalian berhasil mengalahkan mereka, janganlah mengganggu orang yang terluka, dan janganlah mengejar orang yang lari. Jangan membuka aurat mereka. Jangan merusak tubuh orang yang terbunuh. Bila kalian mencapai perkampungan mereka janganlah membuka yang tertutup, jangan memasuki rumah tanpa izin, janganlah mengambil harta mereka sedikit pun. Jangan menyakiti perempuan walaupun mereka mencemoohkan kamu. Jangan mengecam pemimpin mereka dan orang-orang saleh di antara mereka." (Rahmat, 1991) Dan para penyerang itu kalah.

Ada sebuah kisah tentang seorang anak yang selalu kesulitan menahan amarahnya, dan selalu memaki-maki orang lain, menyakiti teman-temannya bila ia merasa marah sedikit saja. Suatu saat ia merasa sadar hal yang ia lakukan tidak benar dan ia sendiri merasa tergganggu olehnya namun tidak bisa menguranginya. Anak itu mendatangi ayahnya, menceritakan risaunya dan ayahnya berpesan ”Anakku, tiap kali engkau marah pada seseorang tancapkanlah paku di dinding kamarmu” begitu pesan ayahnya. Hari-harinya dilakukan untuk memaku kamarnya setelah itu. Beberapa minggu kemudian sang ayah mendatangi kamar anak itu yang sudah penuh paku. Ia kembali berpesan ” Nak, sekarang cabutlah semua paku itu”. Anak itu mencabut semua paku itu kemudian Ayahnya berkata ” Seperti dinding ini nak, mungkin kamu bisa meminta maaf pada orang yang telah kau sakiti, mungkin kamu bisa mencabuti paku-paku itu dengan mudah. Tapi tidak bekasnya, lubang-lubang bekas paku itu akan terus ada, begitu pula hati mereka yang telah kau sakiti telah kau tancapkan paku di dadanya dan bekasnya akan selalu ada...”

Pepatah vietnam mengatakan ” Seribu teman terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak” Jadi mungkinkah kita mengibarkan bendera perdamaian itu saat ini menjelang Hari Raya ? Ketika hati manusia diputihkan kembali, dilahirkan kembali layaknya bayi yang putih suci. Seperti senyum kecil Saladin pada musuhnya dan matanya yang teduh. Tanpa dendam.



Tuesday, October 16, 2007




Sejak Gutenberg menciptakan mesin cetak pertamanya, maka segala rupa ilmu yang sebelumnya telah dikumpulkan, dicatat, ditulis, untuk kemudian diterjemahkan oleh para rahib Ordo Santo Benedictus di biara-biara batu yang sumpek dan penuh dengan manuskrip dapat diterbitkan secara massal dan mulai menyebar ke seantero Eropa, buku-buku tebal inilah yang ditelan oleh pemikir-pemikir yang menciptakan gagasan-gagasan besar seperti demokrasi, ilmu pengetahuan, sosialisme, nasionalisme, filsafat. Kerjasama tidak langsung ini bak sebuah labirin raksasa perkembangan ilmu pengetahuan yang mengantar bangsa kulit putih dalam setiap penjelajahan, dalam setiap penaklukan dan membuat mereka sebagai pemenang tongkat estafet kekuasaan di bumi hingga kini, setelah surutnya zaman keemasan para khalifah.



Semua itu berkat kubus-kubus logam yang sedikit lebih besar dari dadu, dengan kejeniusannya Gutenberg mengukir huruf latin dalam kubus-kubus tersebut untuk kemudian disusun dan jadilah mesin cetak purba yang mampu menggantikan proses penerbitan sebuah buku yang bisa memakan waktu berbulan bahkan bertahun-tahun dengan ditulis tangan menjadi ratusan bahkan ribuan buku dalam hitungan hari. Sebuah embrio teknologi cetak massal yang mengabadikan kisah-kisah Syshipus, pemikiran Plato, perjalanan Marcopolo, hingga ilmu pengetahuan peradaban Islam yang tadinya tersimpan rapi di perpustakaan Baghdad.

Satu kata kunci, budaya literer. Tersebarnya budaya tulis telah mengubah sebuah peradaban dan mengantarkannya kepada pencerahan,renaisanss semua segi kehidupan. Untuk kemudian sedikit demi sedikit, namun pasti melahap semua khazanah budaya yang ada di bumi dalam cengkeraman global (baca:westernisasi). Sebuah penyeragaman yang tidak disadari (unsconscious).

Sementara pada abad 5 M di sudut bumi yang lain, ketika Eropa masih bergelut dengan kegelapan (dark age) dan para tuan tanah hidup di kastil-kastil kayu yang rapuh yang dipagari dengan palisade wall (tonggak-tonggak kayu runcing), sebuah saluran irigasi sepanjang 11 km sedang dibangun dan diberi nama Gomati selama 21 hari dipimpin oleh seorang raja bernama Purnawarman. Dengan sistem penanggalan yang rumit prosesi religius berupa pengorbanan 1000 ekor sapi sekaligus kegiatan sosial ini dicatat dalam sebuah batu prasasti dengan huruf Pallawa bahasa Sansekerta. Sekian tahun sebelumnya di seberang kerajaan tersebut sebuah upacara kurban juga dicatat dalam huruf Pallawa pada tonggak-tonggak batu. Tujuh buah Yupa yang menceritakan kegiatan upacara Syiwa dipimpin oleh Sang Mulawarman dari kerajaan Kutai. Kegiatan catat-mencatat ternyata sudah setua 16 abad ada di Nusantara. Meski terbatas pada prosesi keagamaan dan dituliskan pada batu sebagai prasasti, mungkin juga daun lontar.

Namun tidak seperti Kaisar Meiji yang dengan cepat menyadari ketertinggalannya lalu segera mengirimkan putra-putra terbaiknya untuk menyerap ilmu di Eropa. Raja-raja Singasari hingga Mataram justru berlumur darah dan saling bunuh satu sama lain, mewarisi kutukan tujuh turunan, bahkan lebih dari keris Empu Gandring yang digunakan Ken Arok –Sang Bapak Raja-raja untuk melakukan kudeta merebut kekuasaan Tunggul Ametung dengan penuh kelicikan dan rekayasa. Hingga ratusan tahun kemudian kelicikan yang sama terjadi kembali dilakukan oleh Panembahan Senapati, penguasa Mataram menindas dan membantai penduduk Mangir, sebuah simbol oposisi yang tidak mau begitu saja tunduk pada kekuasaan absolut sampai pembantaian rakyat kecil yang dituduh komunis oleh kekuasaan Orde Baru, dan masih banyak lagi kisah mengenai darah yang tercecer di bumi Nusantara.

Mereka melupakan aksara Pallawa dan lebih suka menggunakan bahasa tutur untuk menceritakan kisah-kisah perang dan cerita-cerita takhyul tentang buto ijo atau makhluk halus dan kawan-kawannya. Epos Mahabarata dan Ramayana yang berlatar belakang sejarah dicomot mentah-mentah dari India dan berubah menjadi kisah dewa-dewi yang hidup di gunung-gunung, merapi, semeru dan hanya berkutat di Jawa dan sekitarnya. Lokalitas dan budaya dongeng merupakan ramuan yang tepat untuk mengurung intelektualitas bangsa imigran dari Indocina ini, yang dengan mudah dapat dikalahkan dan dihancurkan oleh meriam dari kapal-kapal ekspedisi Vasco Da Gama. Menjadi bangsa yang berkepribadian otoriter (otoritatian personality) dan berpikiran pendek seolah semua hal bisa diselesaikan dengan menghunus keris.

Maka alangkah jahatnya bangsa ini bila masih saja melupakan huruf Pallawa sebagai simbol kebangkitan budaya literer, yang kemudian juga dipelajari di universitas Nalanda, sebuah perguruan tinggi pertama di kepulauan ini pada masa Sriwijaya.

Goreskan penamu sekarang juga ! Ramaikan ketukan tuts keyboard detik ini juga !
Menuju kebangkitan Nusantara !!





Monday, October 15, 2007

Selamat Hari Raya Idul Fitri



Taqabalallahu minna wa minkum

Mohon Maaf Lahir dan Bathin...