" Hari ini Anda adalah orang yang sama dengan Anda di lima tahun mendatang, kecuali dua hal : orang-orang di sekeliling Anda dan buku-buku yang Anda baca..."

Sunday, October 12, 2008

Kegagalan Psikotest


(vas bunga Rubin)

Apabila diamati saat ini di setiap toko-toko buku besar maupun kecil bahkan di lapak-lapak penjual buku di pinggir jalan terdapat buku psikotes dengan berbagai judul yang sensasional dan bombastis. Tidak hanya “Panduan Psikotest bagi pemula”, tapi judul-judul seperti “Sukses psikotes dalam 30 menit”, “Cara cepat Lolos CPNS”, “Membongkar rahasia psikotes !” banyak bermunculan dari berbagai penerbit baik penerbit besar maupun penerbit kecil. Fenomena ini muncul karena setiap seleksi dalam dunia kerja mesti melalui proses psikotes. Meskipun pemaknaan mengenai psikotes bisa jadi berbeda-beda namun satu hal yang pasti yang diyakini oleh hampir semua pencari kerja adalah, untuk bisa mendapatkan pekerjaan harus mampu mengerjakan psikotes dengan “benar” sehingga bisa lolos.
Simak saja pernyataan dari seseorang mengirimkan e-mail kepada biro konsultasi Sumber Daya Manusia (SDM) terkemuka di Jakarta :

“Saya lulus dengan ip yg cukup tinggi (3.56) dari univ terkemuka bidang ilmu TI tapi saya punya masalah dalam psikotes dari dulu saya punya masalah dalam mengerjakan psikotes karena emang kemampuan numerik saya rendah apakah ada tips khusus untuk mempertinggi nilai psikotes ?”

Ternyata Indeks Prestasi (IP) kuliah di atas 3.5 yang berarti orang ini lulus cum laude dari sebuah universitas terkemuka di bidang Teknologi Informasi (TI) pun tidak menjamin yang bersangkutan bisa lolos psikotes. Simak pula pernyataan berikut ini yang ditujukan pada konsulatan yang sama.


“Saya sarjana ekonomi dengan CV yang lumayan,IPK lebih dari 3,2 dari Universitas negeri aktif diberbagai kegiatan… …begitu psikotes selalu gagal.jika di rinci dari tes awal pada psikotes, saya dapat menyelesaikan semuanya dengan benar, bahkan untuk tes numerik berupa penjumlahan angka ke bawah, saya lebih dari kertas yang diberikan. tapi kenapa bisa gagal? saya tau psikotes hanya mencari orang yang tepat untuk perusahaan yang tepat, tapi dasar penilaiannya apa? diisi semua dengan benar tetap gagal. sekarang saya mulai pesimis jika ada psikotes, lebih baik ada tes kompetensi atau presentasi dari pada psikotes. bank, manufaktur, dan industri lain sudah saya coba tapi gagal terus di psikotes.”

Begitu pula dengan seseorang yang nampaknya secara sosial dan organisasi dia aktif dan merasa bahwa jawaban dalam salah satu soal psikotesnya ia menjawab dengan benar bahkan melebihi harapan namun tetap menemui kegagalan dalam menembus psikotes. Nampaknya psikotes bagi sebagian orang masih menjadi momok dan merupakan batu sandungan dalam memperoleh pekerjaan.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh sebagian orang yang lain sebagai peluang usaha, bahwa kebutuhan masyarakat untuk mengenal psikotes itu sendiri cukup tinggi karena memang sebelumnya psikotes baik dalam cara penyampaiannya sampai dengan interpretasi hanya dikuasai oleh sebagian kecil orang saja khususnya dengan latar belakang keilmuan psikologi, merekapun diikat oleh peraturan kode etik untuk tidak seenaknya menyebarluaskan isi dan materi psikotes kepada khalayak umum.

Meskipun demikian tetap saja berbagai kursus dan buku yang menawarkan kemampuan untuk lolos psikotes secara instan tetap saja menjamur. Sedangkan di masyarakat umumnya beredar pendapat yang cukup beragam dari yang meragukan efektivitas psikotes itu sendiri sampai dengan yang menyadari penting dan perlunya psikotes itu dilakukan. Hal ini sangat lumrah terjadi di lapangan, dengan “dukungan” media yang juga menyebarluaskan berita-berita baik mengenai positif maupun negatif psikotes itu sendiri kemudian masyarakat menemukan pengertiannya sendiri tentang bagaimana menyikapi dan menghadapi psikotes.


Dalam Tempo Interaktif tanggal 1 Mei 2007 yang lalu diberitakan mengenai seorang polisi bernama Bripka Deni Bagus Haryono(23 tahun) anggota Unit Reserse Narkoba Polresta Surabaya Utara, sudah menembak kepala isterinya, Nova Puspita hingga koma. Peristiwa yang berlangsung pada Senin (30/4) malam itu terjadi di rumah mereka di Jl. Setro III/ 8A Tambaksari, Surabaya. Menurut keterangan beberapa sumber, kejadian itu dipicu oleh kecemburuan Nova setelah menemukan nomor yang tak ia kenal di telepon seluler suaminya. Nova kemudian mencoba menghubungi nomor tersebut namun tidak tersambung. Ibu yang baru tujuh bulan lalu melahirkan anak pertamanya itu menunduh suaminya telah berselingkuh dengan perempuan lain. Namun tuduhan itu dibantah oleh Deni. Keduanya lalu bertengkar hebat. Karena terus didesak agar mengakui perselingkuhannya, kemarahan Deni akhirnya memuncak. Dia mengambil pistol dan menembakkan ke hidung isterinya. Setelah tubuh Nova roboh, Deni buru-buru membawanya ke Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo.
Ironisnya adalah, belum lama sebelumnya Bripka Deni ini sudah dinyatakan lulus psikotes / tes psikologis untuk memegang senjata ! Memang semua jenis tes psikologi tidak mengatakan bahwa kemudian hasilnya 100% benar serta perlu diperhatikan juga siapa dan dengan kualifikasi apa pihak-pihak yang telah melaksanakan psikotes di lembaga kepolisian, tentunya banyak faktor lain yang tentu saja mempengaruhi keputusan Bripka Deni untuk kemudian tiba-tiba menembak istrinya.
Padahal semula psikotes untuk para penegak hukum ini sedang digalakkan kembali menyusul beberapa kasus penembakan yang sudah terjadi seperti anggota Provos Polres Semarang Briptu Hance Christian, juga terdapat sederet kasus lain. Seperti pada 8 Maret 2007 Briptu Rifai anggota Polres Bangkalan menembak istri, mertua, dan dua orang lainnya sebelum menghabisi nyawanya sendiri. Lalu ada juga anggota Poltabes Medan Iptu Oloan Hutasoit yang pada 24 Januari 2007 menembak sepasang pengantin dan menghabisi nyawanya sendiri (suara pembaruan, Maret 2007).


"Matangnya kepribadian seseorang tidak bisa hanya dilihat dari hasil seleksi awal psikologi. Meski saat tes psikologi di awal orang sudah menunjukkan kematangan pribadi, tetapi lingkungan kerja yang tidak sehat membuat kepribadiannya tidak berkembang,"


Demikian seperti dijelaskan Ketua Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Irmansyah.


Namun kejadian seperti ini tetap saja menunjukkan “kegagalan” psikotes karena alat inilah yang digunakan secara luas sebagai filter utama menangkap karakteristik dan kecenderungan kepribadian seseorang, dalam hal ini bagi anggota kepolisian yang memiliki hak untuk memegang senjata api dan tentu saja menimbulkan pertanyaan masyarakat umum mengenai perlu tidaknya sebuah psikotes diadakan.